Sabtu, 14 November 2009

Latihan soal

I. Pilihlah jawaban yang paling tepat!
1. Makna harfiah sejarah sebagai sesuatu yang telah terjadi, terdapat pada kata . . . .
a. syajaratun                                           d. silsilah
b. history                                                e. kronik
c. geschicht
2. Sejarah sebagai sebuah kisah dapat kita temui dalam . . . .
a. Hikayat Raja-Raja Pasai                       
b. Malin Kundang
c. Ramayana
d. Mahabharata                                  
e. buku Awal Kebangkitan Mataram karya H.J De Graaf
3. Peran sejarah sebagai seni dapat kita baca dalam buku . . . .
a. Babad Tanah Djawi
b. Hikayat Hasanuddin
c. Pembantaian Massal 1740 karya Hembing Wijayakusuma
d. Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad karangan Teuku Iskandar
e. Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer
4. Sejarah pun dapat berperan sebagai ilmu pengetahuan. Karya yang menganalisis kejadiankejadian
sejarah melalui metode keilmuan adalah . . . .
a. Arus Cina-Islam-Jawa karya Sumanto Al Qurtuby
b. kitab Serat Kandha
c. Antara Krawang-Bekasi karangan Chairil Anwar
d. Pararaton dan Sutasoma
e. Robert Anak Surapati karya Abdoel Moeis
5. Kata syajaratun dalam bahasa Arab secara harfiah berarti . . . .
a. segala kejadian yang terjadi pada masa lampau
b. segala sesuatu yang terjadi
c. sebuah pohon
d. rangkaian silsilah
e. segala sesuatu yang dihasilkan dari penelitian
6. Seorang pelaut yang menulis kronik berjudul Suma Oriental adalah . . . .
a. I-Tsing
b. Fa-Hien
c. Tome Pires
d. Mendez Pinto
e. Marcopolo
7. Bila kita ingin menulis peristiwa sejarah yang data-datanya memiliki urutan waktu yang
tidak runut maka kita harus menyusunnya secara . . . .
a. periodesasi                                                   d. historiografi
b. kronologis                                                    e. ilmiah
c. kronikel
8. Sebuah peristiwa dapat dianggap sebagai sejarah bila . . . .
a. tidak ada yang mencatat peristiwa tersebut
b. ada yang mengingatnya
c. peristiwa itu lumayan penting
d. membuktikan bahwa peristiwa tersebut benar-benar memengaruhi kehidupan
masyarakat luas
e. dikisahkan oleh seorang abdi istana
9. Periodesasi sejarah setiap negara takkan sama, hal ini disebabkan karena . . . .
a. yang menulisnya pun berbeda bangsa
b. perkembangan peradaban dan persentuhan dengan bangsa lain, masing masing
berbeda waktunya
c. perkembangan teknologi setiap negara berbeda
d. budaya asli setiap bangsa berbeda
e. masing-masing mengalami masa penjajahan yang berbeda-beda tahunnya
10. Tulisan pada Prasasti Kedukan Bukit yang menceritakan perjalanan Raja Sriwijaya
Dapunta Hyang, dapat kita anggap sebagai sejarah yang berperan sebagai . . . .
a. kisah                                                            d. ilmu
b. peristiwa                                                      e. sastra
c. seni
11. Yang merupakan arti sejarah bagi kehidupannya manusia adalah . . . .
a. sebagai pelajaran untuk generasi berikut
b. sebagai hiburan manusia masa kini
c. sebagai seni yang mengedepankan nilai estetika
d. agar manusia zaman sekarang tetap mengharapkan kejayaan-kejayaan masa lalu
e. sebagai peristiwa belaka
12. Berikut ini yang termasuk ke dalam ciri-ciri dari sejarah adalah bahwa ia . . . .
a. cukup penting dan berpengaruh terhadap kehidupan manusia
b. dapat dijelaskan melalui data secukupnya
c. tak terikat dengan waktu
d. berlangsung tanpa sebab-musabab
e. hasil imajinasi umat manusia
13. Ibnu Batutah adalah sejarawan yang pernah singgah di Sumatera dan mencatat sedikitbanyak
perkembangan Islam dan Asia Tenggara. Ia berasal dari negeri . . . .
a. Persia                                                           d. Mesir
b. Maroko                                                         e. India
c. Turki
14. Sejarawan yang menyatakan bahwa “sejarah ialah kenangan pengalaman umat manusia”,
adalah . . . .
a. Taufik Abdullah
b. Edward Hallet Carr
c. Robert V. Daniels
d. Muhammad Yamin
e. Poerwadarminta
15. Historie recite merupakan idiom yang mengandung arti . . . .
a. sejarah yang dilupakan
b. sejarah sebagaimana terjadi
c. sejarah sebagai momentum
d. sejarah sebagaimana dikisahkan
e. sejarah yang ditutup-tutupi
16. Sejarah mempunyai arti “terjadi” dari kata “geschieden” yang berasal dari . . . .
a. Spanyol                                                         d. Belanda
b. Italia                                                             e. Swiss
c. Jerman
17. Sejarah sebagai kisah yang berisi kisah Sultan Iskandar Muda adalah . . . .
a. Hikayat Aceh                                                 d. Cerita Prahiyangan
b. Pararaton                                                      e. Pangeran Wangsa Kertu
c. Kidang Sudayana
18. Sejarah bisa dikategorikan ilmu dengan beberapa cirinya, yang menempatkan ciri sejarah
dalam keilmuan sebagai pengalaman manusia adalah . . . .
a. memiliki objek                                               d. memiliki empiris
b. memiliki teori                                                e. memilii eksistensi
c. memiliki metode
19. Tokoh sastrawan yang kerap kali mengisahkan sejarah dalam karya sastranya (novel)
adalah . . . .
a. Utuy Tatang Saartani
b. Ramadhan K.H
c. Pramoedya Ananta Toer
d. Muchtar Lubis
e. Iwan Simatupang
20. Seorang sejarawan yang mengatakan sejarah sebagai “pengetahuan tentang cita rasa”
adalah . . . .
a. August Comte                                                 d. Dithley
b. Wills                                                              e. Dithley
c. Spencer

soal latihan

Pilihlah jawaban yang paling benar!
1. Salah satu ciri dari kehidupan masyarakat praaksara adalah . . . .
    a. telah mengenal sistem huruf
    b. belum mengenal sistem bahasa untuk berkomunikasi
    c. telah mengenal tradisi bercocok tanam di sawah atau ladang
    d. baru mampu menulis pada prasasti, bukan pada kertas
    e. telah dapat membangun candi dan istana secara sederhana
2. Masyarakat Nusantara pada masa sebelum mengenal huruf telah mengenal ilmu perbintangan,
yang berfungsi untuk . . . .
    a. keperluan pelayaran di lautan
    b. menghitung waktu yang tepat bagi irigasi sawah
    c. kepentingan upacara terhadap arwah leluhur
    d. memperkirakan waktu yang tepat untuk singgah di pulau baru
    e. menentukan waktu yang tepat untuk bercocok tanam
3. Yang bukan termasuk alasan masyarakat praaksara melakukan barter adalah . . . .
    a. mereka membutuhkan bahan kehidupan lain yang tak dimilikinya
    b. mereka enggan melakukan jual-beli karena tak menguntungkan
    c. mereka belum mengenal sistem uang
    d. karena peradaban mereka masih sederhana dan tradisonal
    e. karena adanya interaksi sosial di antara mereka
4. Profesi yang dapat digolongkan ke dalam kasta sudra adalah . . . .
    a. buruh                                                      d. pedagang
    b. petani                                                      e. pendekar
    c. nelayan
5. Yang dapat digolongkan ke dalam kaum brahmana adalah . . . .
    a. raja                                                         d. pembantu rumah tangga
    b. cendekiawan                                            e. budak
    c. tentara
6. Di bawah ini yang termasuk folklore nonlisan adalah . . . .
    a. cerita rakyat                                             d. mitologi
    b. legenda                                                   e. perkakas untuk berburu
    c. nyanyian rakyat
7. Kisah berikut ini yang termasuk ke dalam mitologi adalah . . . .
    a. Malin Kundang                                         d. Hikayat Raja-Raja Pasai
    b. Sangkuriang                                            e. Mahabharata
    c. Roro Jongrang
8. Berikut ini yang merupakan karya sastra masa Hindu-Buddha yang bernilai sejarah adalah
. . . .
    a. Si Pondik                                                 d. Arjuna Wiwaha
    b. Hikayat Sri Rama                                      e. Hikayat Aceh
    c. Kidung Sunda
9. Kasta yang menempati peringkat terhormat dalam tradisi Hindu adalah . . . .
    a. raja                                                        d. paria
    b. brahmana                                               e. waiysa
    c. sudra
10. Bangsa Cina, terutama bagian selatan, telah lama mengenal Nusantara. Pengaruh paling
besar bangsa Cina terhadap orang Indonesia adalah dalam bidang . . . .
    a. budaya                                                   d. ekonomi
    b. agama                                                    e. bahasa
    c. politik
11. Kata-kata di bawah ini yang diimpor dari Cina adalah . . . .
    a. wihara, klenteng, mi                                d. raja, dewa, no ban
    b. bakso, capcay, graha                               e. sengsara, hyang, wacana
    c. bihun, gocap, tauge
12. Tradisi upacara yang di dalamnya terdapat unsur Islam adalah . . . .
    a. sedekah bumi                                          d. menaburi makam dengan bunga
    b. ngaben                                                   e. macapat
    c. sekaten
13. Di bawah ini yang tidak termasuk ke dalam kelompok bahasa India adalah . . . .
    a. Urdu                                                      d. Melayu
    b. Tamil                                                     e. Gujarat
    c. Sansekerta
14. Bangsa dari Asia Selatan berikut ini yang telah lama berhubungan dengan orang Indonesia
adalah . . . .
    a. Melayu                                                   d. Sri Lanka
    b. Filipina                                                   e. Vietnam
    c. Cina
15. Masyarakat Nusantara pada masa lampau telah menjalin hubungan dagang. Untuk keperluan
ini, mereka menggunakan bahasa … sebagai perantara.
    a. Batak                                                     d. Jawa
    b. Cina                                                      e. Melayu
    c. India
16. Mpu Sendah dan Mpu Panuluh menuliskan karya sastra yang berjudul . . . .
    a. kitab Kakawin Bharatayudha                    d. kitab Sundayana
    b. kitab Lubdaka                                        e. kitab Smaradhana
    c. kitab Pararaton
17. Syair peninggalan Sejarah Islam yang berisikan wejangan-wejangan Sunan Bonang adalah
. . . .
    a. Suluk Sukarsah                                      d. Suluk Wijil
    b. Syair Abdul Muluk                                  e. Suluk Malang Sumirang
    c. Gurindam Duabelas
18. Perayaan Sekaten pada zaman Majapahit mempunyai makna sebagai . . . .
    a. penghormatan kepada raja
    b. penghormatan kepada leluhur
    c. penghilang sakit
    d. penghibur sesak hati
    e. menghindari bencana
19. Jenis nyanyian rakyat yang mengenai cerita kepahlawanan (heroik) adalah . . . .
    a. epos                                                     d. tembang
    b. balada                                                  e. pantun
    c. gurindam
20. Di bawah ini prasasti-prasasti di zaman Kerajaan Sriwijaya, kecuali . . . .
    a. prasasti kota kapur                                d. prasasti kedukan bukit
    b. karang berahi                                       e. prasasti tugu

Lanjutan BAB II

(5) Hikayat Raja-Raja Pasai
Kitab ini disusun sekitar abad ke−15 M. Isinya mengenai
riwayat raja-raja yang pernah memerintah Samudera Pasai.
Hikayat Raja-raja Pasai. Kitab babad ini dalam pokoknya
meriwayatkan kerajaan Pasai, sejak didirikan oleh Malik
al-Saleh (wafat th. 1297) sampai ditaklukkan oleh Majapahit
zaman Gajah Mada.
Angka tahun tidak ada didapatkan dalam kitab ini, dan
uraian seluruhnya ditenun dalam dongeng-dongeng sehingga
jika tidak ada bahan-bahan sejarah untuk mencocokkan dan
sebagai perbandingan maka tak dapatlah kita membedakan
mana fakta-fakta sejarahnya. Demikianlah misalnya, permulaannya
berupa dongeng tentang seorang anak perempuan yang
dilahirkan dari sebatang bambu dan nantinya kawin dengan
seorang putera bangsawan yang waktu kecilnya diasuh oleh
seekor gajah. Bagian yang mengisahkan raja-raja Pasai pun
lebih berupa cerita roman daripada sejarah. Tentang sebabnya
Pasai diserang Majapahit diceritakan sebagai berikut:
Seorang puteri Maja pahit, Raden Galuh Gumarancang,
jatuh cinta kepada Tun Abd al-Jalil, putera Raja Pasai, dan
datang sendiri di Pasai menjemput kekasihnya. Raja Pasai
tidak menyetujui perkawinan ini, dan menyuruh bunuh
puteranya dan buang ke laut mayatnya. Ketika sang puteri
mengetahui hal ini, ia menenggelamkan diri bersama perahunya
untuk bersatu dengan sang pangeran itu. Raja Majapahit
segera mengirimkan armadanya ke Pasai untuk menyatakan
amarahnya
Sementara karya sastra babad adalah cerita sejarah yang biasanya
lebih bersifat cerita daripada nilai sejarahnya. Karya-karya
babad yang berhasil terkumpul antara lain:
(1) Babad Tanah Jawi
Isi kitab ini menceritakan kerajaan-kerajaan di Jawa, sejak
kerajaan Hindu−Buddha sampai kerajaan-kerajaan Islam.
Babad Tanah Jawi. Kitab ini menguraikan sejarah pulau
Jawa mulai dari Nabi Adam sampai 1647 tahun Jawa (=
1722 Masehi). Adam ini ber-anak Nabi Sis, Sis beranak
Nurcahya, Nurcahya beranak Nurasa beranak Sang Hyang
Wenang beranak Sang Hyang Tunggal beranak Batara Guru.
Batara Guru yang bertakhta di Suralaya beranak 5 orang, di
antaranya: Batara Wisnu. Wisnu inilah raja pertama di Jawa,
bergelar Prabu Set.
Jelaslah bahwa permulaannya sulit kita terima sebagai
sejarah. Begitu pula lanjutannya, yang menguraikan berbagai
raja dan kerajaan seperti Pajajaran dan Majapahit. Mulai dari
zaman Demak ada juga sedikit-sedikit sejarah, makin mendekat
abad ke-18 makin banyak, akan tetapi uraian seluruhnya
banyak yang lebih berupa cerita daripada sejarah.
Dalam hal ini fakta sejarahnya lebih banyak didapatkan
di Sejarah Melayu, artinya lebih nyata dikemukakan. Sebaliknya
Babad Tanah Jawi memuat berbagai angka tahun,
yang memberi kemungkinan untuk dicocokkan dengan
bahan-bahan sejarah lain.
(2) Sejarah Melayu
Kitab ini ditulis oleh patih Kerajaan Johor bernama Bendahara
Tun Muhammad. Isinya menceritakan kebesaran
Iskandar Zulkarnain yang menurunkan raja−raja Melayu.
Sejarah Melayu, juga dinamakan Sulalat us-salatin. Kitab ini
betul-betul dimaksudkan sebagai sejarah. Meskipun banyak
juga terdapatkan dongeng-dongeng di dalamnya, dalam
garis besarnya yang diuraikan adalah peristiwa-peristiwa
yang sungguh terjadi. Penulisnya adalah Bendahara Tun
Muham mad, patih kerajaan Johor, atas perintah dari Raja
’Abdullah, adik dari Sultan Ala’uddin Riayat Syah III. Kitab
ini dimulai dalam tahun 1612 dan selesai dalam tahun 1615,
jadi ditulis waktu kerajaan Johor berulang kali mendapat
serangan dari Aceh.
Sejarah ini dimulai dengan riwayat Iskandar dari Makadunia
(Iskandar dzu’l Karnain). Seorang keturunannya
tiba di Bukit Seguntang dekat Palembang dan menjadi raja.
Kerajaan ini nantinya pindah ke Singapura, dan kemudian
ke Malaka. Mulai dari sini semakin banyaklah fakta-fakta
sejarah yang diceritakan.
(3) Babad Cirebon
Kitab ini memuat tentang daftar sejarah Cirebon.
(4) Bustanul Salatin
Kitab ini ditulis oleh Nuruddin ar-Raniri. Isinya memuat
intisari ajaran Islam, seperti penciptaan langit dan bumi,
riwayat nabi-nabi, dan riwayat para sultan yang pernah memerintah
Aceh (kronik).
(5) Babad Giyanti
Menceritakan pembagian kerajaan Mataram menjadi kerajaan
Yogyakarta dan Surakarta pada tahun 1755. Pada tahun
1757, berdiri kerajaan Mangkunegaran, sebagian dari kerajaan
Surakarta. Babad Giyanti, karangan Yasadipura. Isinya
meriwayatkan pecahnya kerajaan Mataram dalam tahun 1755
dan 1757 menjadi Surakarta di bawah pemerintahan Paku
Buwono III, Yogyakarta dengan Hamengku Buwono I dan
Mangkunegaran yang diperintah oleh Mangkunegoro I. Apa
yang diuraikan dalam kitab ini adalah betul-betul sejarah,
meskipun banyak beberapa penambahan oleh penulisnya.
Karya sastra berupa syair peninggalan sejarah Islam di Indonesia
antara lain:
(1) Syair Abdul Muluk
Syair ini menceritakan bahwa Raja Abdul Muluk mempunyai
dua orang istri, yaitu Siti Rahmah dan Siti Rafiah. Ketika
kerajaan Barbar diserang oleh Kerajaan Hindustan, Siti
Rafiah dapat meloloskan diri. Kemudian berkat bantuan
sahabatnya, ia dapat merebut kerajaannya kembali.
Cari dan teliti hikayat-hikayat yang lain yang berhubungan dengan tradisi tulisan yang berkembang
di daerahmu! Buatlah kesimpulannya!
(2) Gurindam Dua Belas
Karya sastra ini ditulis oleh Ali Haji, yang berisi nasihat bagi
para pemimpin, pegawai, dan rakyat biasa menjadi terhormat
dan disegani oleh sesama manusia.
(3) Suluk Sukarsah
Isinya mengisahkan seseorang yang mencari ilmu untuk
mendapatkan kesempurnaan.
(4) Suluk Wijil
Isinya mengenai wejangan−wejangan Sunan Bonang kepada
Wijil. Wijil adalah seorang yang kerdil bekas abdi raja Majapahit.
(5) Suluk Karya Hamzah Fansuri
(a) Syair Prahu
Manusia yang diibaratkan perahu yang mengarungi
lautan zat Tuhan dengan menghadapi segala macam
marabahaya yang hanya dapat dihadapi oleh tauhid
dan ma’rifat.
(b) Syair Si Burung Pingai
Jiwa manusia disamakan dengan seekor burung, tetapi
bukan burung arti yang sebenarnya, melainkan zat
Tuhan.
(6) Suluk Malang Sumirang
Isinya tentang seseorang yang telah mencapai kesempurnaan
hidup.
Kata Kunci
historiografi, kolonial, tradisional,
belanda sentris
D. PERKEMBANGAN HISTORIOGRAFI DI INDONESIA
1. Historiografi Tradisional
Penulisan sejarah pada mulanya lebih merupakan ekspresi budaya
daripada usaha untuk merekam masa lampau sebagaimana adanya.
Hal ini didorong oleh suatu kenyataan bahwa dalam diri manusia
atau masyarakat selalu akan muncul pertanyaan tentang jati diri
dan asal usulnya yang dapat menerangkan keberadaannya dan
memperkokoh nilai-nilai budaya yang dianutnya. Jadi, penulisan
sejarah bukan bertujuan untuk mendapatkan kebenaran sejarah
dengan pembuktian melalui fakta-fakta, akan tetapi keyakinan
akan kebenaran kisah sejarah itu diperoleh melalui pengakuan
Rama yang disebut dari Kakawin
Ramayana.
serta pengabdiannya terhadap penguasa. Dalam historiografi
tradisional terjalinlah dengan erat unsur-unsur sastra, sebagai
karya imajinatif dan mitologi, sebagai pandangan hidup yang
dikisahkan sebagai uraian peristiwa pada masa lampau, seperti
tercermin dalam babad atau hikayat.
Walaupun demikian, adanya sejarah tradisional memiliki arti
dan fungsinya sendiri. Pertama, dengan corak sejarah tradisional
yang bersifat istana sentris maka ada upaya untuk menunjukkan
kesinambungan yang kronologis dan untuk memberikan legitimasi
yang kuat kepada penguasanya. Ken Arok misalnya, dalam kitab
Pararaton dituliskan sebagai titisan Dewa Wisnu dan putra dari
Dewa Brahma dengan Ken Endok. Raja-raja Mataram membuat
garis keturunannya dari periode manusia pertama dan para nabi,
diikuti dengan periode tokoh-tokoh kepahlawanan dari kitab Mahabharata.
Kemudian pertumbuhan kerajaan Mataram dilukiskan
berasal dari kerajaan kuno seperti Daha, Kediri, Singasari, Majapahit
dan Demak. Adapula upaya untuk menarik garis keturunan
dari tokoh raja legendaris seperti Iskandar Agung kepada rajaraja
legendaris dari Jawa dan Malaka. Kedua, berbagai legenda,
mitos dan folklor yang terkait dengan tokoh-tokoh sejarah lokal,
seperti yang terdapat dalam kitab Babad Tanah Jawi bertujuan
untuk meningkatkan solidaritas dan integrasi di bawah kekuasaan
pusat. Ketika proses penyatuan telah berhasil dilakukan
maka kekuasaan pusat membutuhkan untuk mengukuhkannya.
Antara lain caranya dengan memasukkan berbagai sejarah lokal
menjadi sejarah resmi Mataram. Ketiga, penyusunan sejarah
tradisional juga dimaksudkan untuk membuat simbol identitas
baru. Bagi rakyat di daerah menjadi bagian dari sebuah kerajaan
berarti berbagi identitas dan gengsi baru. Bagi mereka datang ke
ibu kota (nagara) merupakan sesuatu yang luar biasa. Kharisma
seorang raja, seperti yang dituliskan dalam Babad Tanah Jawi, dipercaya
karena adanya pulung. Dengan memiliki kharisma itulah,
Panembahan Senopati berhasil menaklukkan ratu Pantai Selatan,
Nyai Roro Kidul sehingga mampu mengamankan kekuasaannya
di sepanjang pantai selatan Jawa, tempat sang ratu berada sebagai
penguasa dengan berbagai terornya.
2. Historiografi Kolonial
Pembicaraan mengenai perkembangan historiografi Indonesia
tidak dapat mengabaikan buku-buku historiografi yang dihasilkan
oleh sejarawan kolonial. Tidak dapat disangkal bahwa historiografi
kolonial turut memperkuat proses historiografi Indonesia. Historiografi
kolonial dengan sendirinya menonjolkan peranan bangsa
Belanda dan memberi tekanan pada aspek politik dan ekonomi.
Hal ini merupakan perkembangan logis dari situasi kolonial ketika
penulisan sejarah bertujuan utama mewujudkan sejarah dari
golongan yang berkuasa beserta lembaga-lembaganya.
Penulisan sejarah kolonial tentunya tidak lepas dari kepentingan
penguasa kolonial. Kepentingan itu mewarnai interpretasi mereka
terhadap suatu peristiwa sejarah yang tentunya berbeda dengan
penafsiran dari penulis sejarah nasional Indonesia. Perlawanan Diponegoro,
misalnya, dalam pandangan pemerintahan kolonial
dianggap sebagai tindakan ekstrimis yang mengganggu stabilitas
jalannya pemerintahan. Di sisi lain, bagi penulis sejarah nasional
perlawanan tersebut dianggap sebagai perjuangan untuk menegakkan
kebenaran, keadilan, dan cinta tanah air.
Jika dalam sejarah Belanda-sentris menonjolkan peranan
VOC sebagai ”pemersatu” dalam menuliskan sejarah Hindia-Belanda
(Indonesia) maka dalam pandangan Indonesia-sentris hal itu
akan berbeda. Kehadiran bangsa Barat pada umumnya, Belanda
pada khususnya, sengaja atau tidak sengaja mendorong ke arah
integrasi. Perlawanan terhadap penetrasi dan kekuasaan bangsa
Barat membantu pembentukan wilayah kesatuan yang kemudian
disebut Indonesia. Demikian halnya pandangan bangsa Belanda
yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember
1949 melalui penyerahan kedaulatan sebagai kelanjutan dari
Konferensi Meja Bundar maka bangsa Indonesia mengakui bahwa
kemerdekaan Indonesia diperoleh dengan perjuangannya sendiri
kemudian diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
3. Historiografi Modern
Tuntutan akan ketepatan teknik dalam usaha untuk mendapatkan
fakta sejarah secermat mungkin dan mengadakan rekonstruksi
sebaik mungkin serta menerangkannya setepat mungkin, mendorong
tumbuhnya historiografi modern. Di samping mempergunakan
metode yang kritis, historiografi modern juga menerapkan
penghalusan teknik penelitian dan memakai ilmu-ilmu bantu
baru yang bermunculan. Oleh karena itu, secara bertahap berbagai
ilmu bantu dalam pengerjaan sejarah berkembang mulai dari
penguasaan bahasa serta keterampilan membaca tulisan kuno
(epigrafi) sampai dengan numismatik, yang mempelajari mata
uang kuno, dan yang mempelajari permasalahan arsip-arsip.
Dengan demikian, bukan saja ketepatan pengujian bahan sumber
harus selalu diperhalus, metode-metode baru dalam pengumpulan
sumber (heuristik) harus pula dikembangkan. Misalnya, kalau
bahan-bahan tertulis telah habis, sedangkan usaha untuk mendapatkan
rekonstruksi sejarah yang relatif utuh belum tercapai maka
dikembangkan apa yang disebut dengan sejarah lisan. Dengan
sejarah lisan, teknik wawancara terhadap para pelaku atau saksi
sejarah dan sistem klasifikasi dalam penyimpanannya perlu pula
selalu disempurnakan, sedangkan bila untuk dipertimbangkan
sebagai bahan penulisan sejarah maka diperlukan metodologi dan
alat analisis disertai dengan ilmu bantu sejarah yang memadai.
4. Historiografi Nasional
Usaha perintisan penulisan sejarah nasional muncul setelah
Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh
penulisan sejarah yang ada merupakan penulisan sejarah yang
dilakukan pada zaman kolonial dan bersifat Belanda sentris. Selain
itu, sebagai negara yang baru memperoleh kemerdekaannya
membutuhkan suatu penulisan sejarah yang dapat menunjukkan
jati diri sebagai bangsa, serta dapat memberikan legitimasi pada
keberadaan bangsa Indonesia yang baru, setelah bertahun-tahun
berada dalam masa penjajahan. Pada waktu itu bagi rakyat Indonesia
pada umumnya membutuhkan identitas mereka yang baru
setelah zaman penjajahan yang diwarnai dengan adanya deskriminasi
rasial. Penulisan sejarah nasional juga dibutuhkan untuk
pendidikan bagi generasi muda sebagai warga negara.
Seminar Nasional Sejarah Pertama di Yogyakarta pada tahun
1957 merupakan kebangkitan penulisan sejarah nasional Indonesia.
Semi nar tersebut membicarakan pencarian identitas nasional
bangsa Indonesia melalui rekonstruksi penulisan sejarah nasional.
Seminar tersebut membicarakan tentang upaya penulisan sejarah
nasional yang berpandangan Indonesia sentris. Sejarah nasional
juga diharapkan dapat menjadi alat pemersatu dengan memberikan
penjelasan tentang keberadaan bangsa Indonesia melalui
jejak sejarahnya.
Sejarah nasional merujuk kepada sejarah berbagai suku
bangsa dan wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, sejarah nasional
harus dapat memanfaatkan sumber-sumber dari penulisan sejarah
tradisional dan kolonial untuk dilakukan rekonstruksi ulang
menjadi sejarah yang berorientasi pada kepentingan integrasi nasional.
Objek penelitian sejarah nasional meliputi berbagai aspek
dengan menggunakan pendekatan multi dimensional, baik aspek
ekonomi, ideologi, sosial-budaya, maupun sistem kepercayaan.
Kehidupan sebelum sebuah masyarakat mengenali tulisan disebut
kehidupan prasejarah. Setiap bangsa di muka bumi ini pasti
pernah mengalami masa prasejarah. Tiap-tiap bangsa mengalami
masa praaksara berbeda-beda.
Manusia-manusia prasejarah hanya meninggalkan benda dan artefak kebudayaan
mereka, tanpa adanya tulisan. Dengan demikian, para peneliti hanya mampu menafsirkan
tentang kehidupan manusia masa prasejarah. Namun, bukan berarti benda-benda
prasejarah tersebut tidak bermanfaat. Benda-benda tersebut memberitakan bagaimana
manusia-manusia zaman dahulu memperlakukan alam sekitar.
Benda-benda material peninggalan zaman praaksara dapat berupa perkakas tajam
untuk keperluan berburu, gerabah, tembikar, alat-alat perhiasan. Di samping benda material,
peninggalan masa prasejarah pun dapat berupa non-material. Peninggalan budaya
Untuk
                                                                                                                    hal  8

lanjutan BAB II

C. TRADISI SEJARAH MASYARAKAT INDONESIA
SETELAH MENGENAL AKSARA
Untuk memperdalam rasa cintamu pada tanah air, kerjakan kegiatan berikut ini secara
perseorangan! Coba cari olehmu cerita legenda atau mitos yang ada di daerahmu. Kamu boleh
bertanya kepada orang tuamu atau tetanggamu atau orang yang mengetahui hal itu lebih dalam.
Atau bila tidak ada, carilah cerita rakyat yang telah dikenal lalu rangkum pada kertas kosong! Atau
boleh pula kamu membuat laporan mengenai sebuah upacara tradisonal yang ada di Indonesia.
Carilah informasinya pada suratkabar, majalah dan internet. Setelah selesai, kumpulkan pada
gurumu!
Sebelum masyarakat mengenal sistem tulisan, masyarakat
Indonesia telah berhubungan dengan para pedagang asing,
terutama dari Cina Selatan dan India Selatan. Karena Kepulauan
Nusantara terletak di antara jalur pelayaran Cina-India maka para
pedagang yang pergi dari Cina ke India atau sebaliknya dipastikan
melewati perairan Indonesia. Selama pelayaran ini, para pedagang
asing menyempatkan diri singgah di tempat-tempat di Indonesia.
Persinggahan para pedagang asing tersebut dapat berlangsung
sementara atau untuk waktu yang cukup lama. Adakalanya mereka
singgah di pelabuhan-pelabuhan yang ramai didatangi para pelaut
dan pedagang lain, sekadar menawarkan barang dagangnya. Dan
adakalanya pula mereka mencari dan membuka lahan baru sebagai
tempat tinggal sementara sebelum melanjutkan pelayaran. Ingat,
pelayaran mereka sangat tergantung pada kondisi cuaca.
Kata Kunci
Prasejarah, sanskerta, pallawa,
suluk, syair.
Para pedagang dan pelaut asing yang berdiam relatif lama itu
pada akhirnya bersosialisasi dengan penduduk pribumi Nusantara.
Dengan demikian, terjadilah kontak budaya antara mereka
dengan orang-orang pribumi. Memang, pengaruh India dan Cina
terhadap kehidupan pribumi tidak sama. Ini terlihat dari segi politik.
Kita akan mengetahui bahwa ternyata orang-orang Indialah
yang banyak memainkan peran politik di awal-awal tarikh masehi
di Nusantara. Ini terlihat dari sistem pemerintahan kerajaan yang
diadopsi dari sistem di India.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para pakar,
bangsa Indonesia memasuki zaman sejarah sekitar abad ke-5
Masehi, yaitu dengan ditemukannya tujuh buah prasasti yang
berbentuk yupa di daerah Kutai, Kalimantan Timur. Pengaruh
India sangat kental dalam penemuan yupa tersebut yaitu terdapatnya
huruf Pallawa yang tertulis dalam yupa tersebut. Dari
sinilah kemudian tradisi sejarah pada masyarakat Indonesia mulai
terbentuk. Mereka mulai membuat catatan tertulis atau merekam
pengalaman hidup masyarakatnya. Berikut contoh beberapa rekaman
pengalaman masyarakat Indonesia yang berwujud prasasti
sebagai berikut:
1. Prasasti
a. Prasasti Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai terletak di sekitar aliran Sungai Mahakam, Kalimantan
Timur. Menurut bukti prasasti yang ditemukan, Kutai
merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Prasasti Kutai itu berbentuk
tugu atau yupa yang berbahasa sanskerta dan huruf pallawa.
Dalam salah satu prasasti dinyatakan nama-nama raja seperti
Kudungga, Aswawarman, dan Mulawarman sebagai peringatan
upacara kurban. Dilihat dari bentuk tulisan pada yupa diduga
prasasti itu dibuat pada abad ke-5 Masehi.
Raja terkenal Kutai adalah Mulawarman, seperti diungkapkan
pada salah satu yupa berikut ini: ”Sang Maharaja Kudungga
yang amat mulia mempunyai putra yang masyur yang bernama
Aswawarman. (Dia) mempunyai tiga orang putra yang seperti api.
Yang terkemuka di antara ketiga putranya adalah sang Mulawarman,
raja yang besar, yang berbudi baik, kuat, dan kuasa, yang
telah upacara korban emas amat banyak dan untuk memperingati
upacara korban itulah tugu ini didirikan”.
Ia sering disamakan dengan Ansuman, yaitu Dewa Matahari.
Raja Mulawarman dikenal sangat dekat dengan rakyatnya. Ia
juga memiliki hubungan yang baik dengan kaum Brahmana yang
datang ke Kutai. Diceritakan bahwa Raja Mulawarman sangat
dermawan. Ia memberi sedekah segunung minyak dan lampu. Ia
juga memberikan hadiah 20.000 ekor lembu kepada Brahmana di
suatu tempat yang disebut Wafrakeswara. Wafrakeswara adalah
tempat suci untuk memuja Dewa Siwa. Dengan demikian, dapat
kita simpulkan bahwa Raja Mulawarman menganut agama Hindu
Siwa. Dari besarnya sedekah Raja Mulawarman ini memperlihatkan
keadaan masyarakat Kutai yang sangat makmur. Kemakmuran
ini didukung oleh peranan yang besar. Kerajaan Kutai dalam
pelayaran dan perdagangan dunia. Hal ini disebabkan karena letak
Kutai yang sangat strategis, yaitu berada dalam jalur perdagangan
utama Cina−India.
b. Prasasti Kerajaan Tarumanagara
Kerajaan Tarumanagara terletak di daerah Bogor, Jawa Barat.
Adanya kerajaan tertua di Pulau Jawa ini, didukung oleh beberapa
prasasti, seperti:
(1) Prasasti Ciaruteun/Ciampea (Bogor)
Prasasti Ciaruteun ditemukan di dekat muara Cisadane. Prasasti
itu ditulis pada sebuah batu besar disertai cap sepasang
telapak kaki. Terjemahan tulisan prasasti itu antara lain:
Ini bekas sebuah kaki yang seperti kaki dewa Wisnu, ialah kaki
Yang Mulia Purnawarman, raja negeri Taruma yang gagah berani
di dunia.
(2) Prasasti Kebon Kopi (Bogor)
Prasasti ini ditemukan di Cibungbulang, Bogor. Dalam
prasasti ini terdapat gambar dua telapak gajah yang disamakan
dengan telapak gajah Airawata (gajah kendaraan Dewa
Wisnu). Terjemahan tulisan prasasti itu antara lain:
Di sini tampak sepasang dua telapak kaki.... yang seperti Airawata,
gajah penguasa Taruma (yang) agung dan ... kejayaan.
Isi prasasti tidak dapat dibaca selengkapnya karena ada bagian
tulisan yang sudah usang.
(3) Prasasti Tugu (Cilincing, Jakarta)
Prasasti ini ditemukan di Desa Tugu, Cilincing, Jakarta Utara.
Prasasti ini merupakan prasasti Tarumanagara yang terpanjang
dan terpenting. Isinya antara lain tentang penggalian sebuah
saluran sepanjang 6112 tumbak (lebih kurang 11 Km), yang
bernama Gomati. Penggalian itu dilakukan pada tahun ke−22
pemerintahan Raja Purnawarman. Pekerjaan penggalian
diselesaikan dalam waktu 21 hari. Setelah selesai, diadakan
selamatan di mana raja memberikan hadiah 1000 ekor sapi
kepada para Brahmana.
Di samping itu, prasasti tugu menyebutkan penggalian sungai
bernama Candrabaga.
(4) Prasasti Muara Cianten (Bogor)
Prasasti ini ditulis dengan huruf ikal dan belum dapat dibaca.
(5) Prasasti Jambu (Leuwiliang)
Prasasti ini ditemukan di Bukit Koleangkak, termasuk perkebunan
Jambu, kira−kira 30 km sebelah barat Bogor. Prasasti
ini berisi sanjungan kebesaran, kegagahan, dan keberanian
Raja Purnawarman.
(6) Prasasti Lebak (Banten)
Prasasti Lebak ditemukan pada tahun 1947. Prasasti ini
hanya terdiri atas dua baris kalimat. Corak tulisan mirip
dengan tulisan pada prasasti Tugu. Isinya memuji kebesaran
dan keagungan Raja Purnawarman.
Sumber prasasti Tarumanagara dibuat dengan bahasa Sanskerta
dan huruf Pallawa. Dari salah satu prasasti diketahui diketahui
Raja terkenal dari Tarumanegara adalah Purnawarman.
Hal itu seperti diungkapkan dalam prasasti Ciaruteun, yaitu: ”Ini
Gambar 2.16 Prasasti Ciaruteun
yang berisi gambar dua telapak
kaki. Kedua telapak kaki
tersebut digambarkan sebagai
telapak kaki Raja Purnawarman
adalah dua tapak kaki Raja Purnawarman raja dari negeri Taruma,
raja yang gagah berani”. Purnawarman pun dikenal sebagai raja
yang memperhatikan masalah pertanian dan peternakan yang
diungkapkan dalam prasasti Tugu.
c. Kerajaan Sriwijaya
Prasasti-prasasti yang berkaitan dengan kerajaan Sriwijaya antara
lain:
(1) Prasasti Kedukan Bukit
Isi Prasasti menyatakan bahwa Dapunta Hyang mengadakan
perjalanan suci (sidhayarta) dengan perahu dan membawa
2.000 orang. Dalam perjalanan tersebut, ia berhasil
menaklukkan beberapa daerah.
(2) Prasasti Talang Tuwo
Isi prasasti menyatakan pembuatan taman bernama Sriksetra.
Taman itu dibuat oleh Dapunta Hyang untuk kemakmuran
semua makhluk.
(3) Prasasti Telaga Batu
Isi prasasti menyatakan kutukan bagi rakyat yang melakukan
kejahatan dan tidak taat pada perintah raja.
(4) Prasasti Kota Kapur
Isi prasasti menyatakan usaha Kerajaan Sriwijaya untuk
menaklukkan Jawa yang tidak setia kepada Sriwijaya.
(5) Karang Berahi
Isi kedua prasasti menyatakan permintaan dewa agar menjaga
Kerajaan Sriwijaya dan menghukum setiap orang yang
bermaksud jahat.
Isi prasasti membawa kita pada kesimpulan sebagai berikut.
(a) Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, dan Telaga Batu yang
ditemukan di dekat Palembang menceritakan berdirinya Kerajaan
Sriwijaya pada tahun 683 M. Pusat kerajaan terletak
di dekat kota Palembang sekarang.
(b) Prasasti Kota Kapur dan Karang Berahi yang ditemukan di
Bangka dan Jambi menceritakan wilayah kekuasaan Sriwijaya
sampai ke Pulau Bangka dan Melayu.
Setelah prasasti di atas, sumber sejarah tentang Kerajaan
Sriwijaya dapat kita ketahui dari prasasti di Indo Cina dan India
serta catatan-catatan Cina dan Arab. Catatan dari Cina berasal
dari I Tsing, seorang rahib Buddha. Sedangkan catatan dari Arab
berasal dari Raihan Al-Beruni seorang ahli geografi dari Persia.
2. Karya Sastra
Selain prasasti yang telah dijelaskan di atas, bukti kebiasaan
tulisan yang dilakukan oleh raja-raja di kerajaan di Indonesia
Gambar 2.17 Naskah Bharatayudha
karya Mpu Sedah dan
Mpu Panuluh, tahun 1157 M
adalah ketika mereka mempunyai para penulis keraton atau para
pujangga yang bertugas mencatat beberapa peristiwa penting yang
berkaitan dengan kerajaannya. Misalnya, menyangkut sebuah
peristiwa penting yang menyangkut bidang sosial, ekonomi, politik
maupun keagamaan, serta pembuatan silsilah kerajaan dan
kebijakan-kebijakan raja.
Para pujangga istana menulis tentang hal-hal yang baik dan
positif saja dari seorang raja, bersifat istanasentris dan mempunyai
tujuan untuk menunjukan kelebihan, keistimewaan, dan
menjadi alat legitimasi dari seorang raja. Misalnya, ketika di
kerajaan Singosari Ken Arok membentuk wangsa Giridrawangsa
untuk memberikan pemahaman kepada rakyat bahwa dia adalah
keturunan dewa.
Pada awalnya karya sastra ini ditulis di atas daun lontar yang
bila rusak selalu diperbaiki. Sejalan dengan kemajuan teknologi
kemudian diubah menggunakan kertas. Karya sastra ini bisa
berbentuk puisi, kakawin, maupun prosa. Berikut karya sastra
yang dimaksud antara lain:
(a) Kitab Kakawin Bharatayudha, karya Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh, pada masa pemerintahan Raja Jayabaya dari
Kediri. Kisah peperangan Pandawa dengan Kurawa yang
secara implisit menggambarkan perang antara Jenggala dan
Kediri.
(b) Kitab Kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya, karya Mpu
Panuluh.
(c) Kitab Smaradhana, karya Mpu Dharmaja.
(d) Kitab Lubdaka dan Kitab Wrtasancaya, karya Mpu Tanakung.
(e) Kitab Kresnayana, karya Mpu Triguna.
(f) Kitab Pararaton, isinya sebagian besar mitos tentang riwayat
Ken Arok, Riwayat Raden Wijaya dan Kertanegara sampai
menjadi raja di Majapahit.
(g) Kitab Sundayana, yang mengisahkan terjadinya peristiwa Bubat,
yaitu perkawinan yang berubah menjadi pertempuran.
(h) Negarakretagama, yang dikarang oleh Mpu Prapanca, mengisahkan
perjalanan Hayam Wuruk ke daerah-daerah kekuasaan
Majapahit.
(i) Kitab Sutasoma, yang dikarang oleh Mpu Tantular, berisi
tentang riwayat Sutasoma, seorang anak raja yang menjadi
pendeta Budha. Dalam kitab ini tergambar adanya kerukunan
umat beragama di Majapahit antara umat Hindu dengan
umat Budha. Dalam kitab ini terdapat ungkapan Bhinneka
Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa.
(j) Kitab Ranggalawe, yang menceritakan pemberontakan Ranggalawe.
peninggalan Kerajaan Sriwijaya
yang ditemukan di Bukit Seguntang,
Palembang.
(k) Kitab Sorandaka, yang menceritakan pemberontakan Sora.
(l) Kitab Usana Jawa, yang menceritakan penaklukan Bali oleh
Gajah Mada dan Arya Damar.
Sedangkan tradisi tulisan peninggalan kerajaan-kerajaan
Islam berupa karya sastra yang mendapat pengaruh dari Persia.
Namun pengaruh sastra Indonesia dan Hindu juga masih ada.
Pada masa itu muncullah hikayat, yaitu karya sastra yang kebanyakan
berisi dongeng belaka, ada pula yang berisi cerita sejarah;
di pulau Jawa disebut babad biasa di Jawa berupa puisi (tembang)
di luar Jawa bisa berbentuk syair atau prosa. Beberapa contoh
karya sastra antara lain:
(1) Cerita Panji
Mengisahkan perkawinan Panji Inu Kertapati, putra raja
Kahuripan dengan Galuh Candra Kirana, putri raja Daha.
Perkawinan berlangsung setelah berhasil mengatasi berbagai
kesulitan.
(2) Cerita Amir Hamzah
Mengisahkan permusuhan antara Amir Hamzah dengan
mertuanya, raja Nursewan dari Madayin, yang masih kafir.
(3) Hikayat Bayan Budiman
Mengisahkan burung nuri yang pandai cerita sehingga
Prabawati yang ditinggal suaminya, Madasena, berlayar
terhindar dari perbuatan serong.
(4) Hikayat Hang Tuah
Mengisahkan perkawinan Hang Tuah, abdi raja Malaka yang
setia, gagah berani, lagi bijaksana. Setelah mengundurkan
diri, kemudian Hang Tuah hidup sebagai pertapa dan hilang
secara gaib.
Hang Tuah adalah tokoh sejarah, yaitu laksamana armada
kerajaan Malaka waktu masa jayanya. Ia adalah prajurit
yang utama, berani serta pandai dan bijaksana, dan abdi sang
raja yang taat dan setia. Bisa dikatakan dalam segala hal ia
adalah wakil sang raja dan duta kerajaannya.
Berkali-kali namanya kita jumpai dalam Sejarah Melayu,
dan ia selalu dijadikan contoh teladan.
Dalam hikayat ini ia digambarkan sudah menjadi pahlawan
pada masa Gajah Mada (sekitar tahun 1350), mengenal
kerajaan Wijayanagara di India pada puncak kejayaannya
(sekitar tahun 1500) dan mengalami pula jatuhnya Malaka
pada tahun 1511, bahkan juga direbutnya Malaka oleh Belanda
pada tahun 1641!
Hang Tuah tidak meninggal melainkan gaib, setelah ia
mengundurkan diri dari hidup kemasyarakatan dan menjadi
petapa. Sebagai keramat ia masih sering kali menampakkan
diri kepada keturunannya. Demikianlah menurut ceritanya.
                                                                                                                      hal  7

lanjutan BAB II

menjadi upacara ”Sekaten” oleh Sunan Kalijaga pada zaman kekuasaan
Kerajaan Demak. Nama sekaten merupakan penyesuaian
makna dari nama ”Jimat Kalimasada” yang berarti (obat mujarab
dari Dewi Kali). Pada zaman Islam Kalimasada mendapat makna
baru, yaitu Kalimat Syahadat. Oleh karena itu, perayaan Sekaten
yang pada zaman Majapahit bermakna sebagai penghibur Sesak
Hati (Sesak-Hatian = Sekaten), pada zaman para wali diubah
menjadi menjadi Syahadatain. Upacara ini kemudian dirayakan
lebih meriah pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma,
raja terbesar Mataram. Bahkan, sampai sekarang upacara
tersebut tetap dilakukan setiap tahun di Kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam.
Sultan Agung mengembangkan rintisan para Wali dengan
membesarkan perayaan Gerebeg yang berarti Hari Besar. Sejak
masa pemerintahan Sultan Agung dikenal adanya tiga macam
Gerebeg, yaitu sebagai berikut.
(a) Gerebeg Pasa, hari raya setelah selesai berpuasa, yakni hari
raya Idul Fitri,
(b) Gerebeg Besar, hari raya Idul Adha, dan
(c) Gerebeg Maulud, perayaan hari raya maulid Nabi Muhammad
Saw. yang sekarang menjadi hari peringatan ”Sekaten”.
(d) Upacara Pajang Jimat di Cirebon.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Sultan Agung telah melakukan
proses adaptasi (penyesuaian) kebudayaan. Tradisi yang
telah berumur lama disesuaikan dengan keadaan zaman yang baru
yang didambakan oleh rakyatnya pada waktu itu
Sebelum pengaruh Hindu-Buddha hadir, masyarakat kuno di
Nusantara telah mengenal kepercayaan animisme dan dinamisme.
Animisme merupakan kepercayaan terhadap roh nenek-moyang
yang mendiami benda-benda, seperti pohon, batu, sungai, gunung,
senjata. Sedangkan dinamisme adalah kepercayaan bahwa segala
sesuatu memiliki tenaga atau kekuatan yang dapat memengaruhi
keberhasilan atau kegagalan manusia dalam kehidupan. Jadi, kepercayaan
animisme dan dinamisme erat berhubungan dengan alam
kosmik, kekuatan alam sekitar dan roh leluhur. Dari kepercayaan
inilah, upacara ritual kemudian lahir.
Upacara penguburan muncul karena keyakinan bahwa roh
orang yang baru meninggal akan pergi dan berdiam di suatu
tempat yang letaknya tak jauh dari lingkungan tempat ia tinggal
semasa hidup. Dengan demikian, bila sewaktu-waktu desanya
diserang oleh kelompok lain atau desanya diserang wabah penyakit
maka roh orang meninggal tersebut dapat dipanggil kembali
untuk membantu menanggulangi keadaan. Upacara penguburan
ini dilaksanakan sangat sederhana. Namun, di balik kesederhanaannya
itu tersimpan makna yang dalam bahwa meskipun raga
atau badan seseorang telah mati namun rohnya tetap hidup dan
berada di sekitar orang-orang terdekatnya. Biasanya, jenazah yang
bersangkutan disimpan di sebuah goa batu atau di dalam peti batu.
Di dalam goa atau peti batu tersebut disimpan berbagai “bekal”
untuk keperluan jenazah di alam gaib, biasanya berupa alat-alat
perhiasan. Hampir di setiap daerah di Nusantara terdapat upacara
ritual penguburan ini.
Selain pada momen penguburan, upacara juga biasanya
dilaksanakan pada prosesi pernikahan. Pernikahan merupakan
peristiwa bersejarah bagi sepasang manusia yang hendak hidup
bersama. Pernikahan, selain melibatkan dua orang yang berbeda
kelamin, juga mempertemukan dua buah keluarga. Karena keistimewaannya
nilai sebuah perkawinan, manusia pun berusaha
agar momentum tersebut diperlakukan secara spesial. Oleh karena
itu, sebuah upacara pun digelar sebagai tanda bahwa pernikahan
mereka adalah suci.
Tiap-tiap daerah di Indonesia memiliki tata cara yang berbeda
dalam hal upacara perkawinan. Masing-masing mempunyai
peraturan sendiri. Pada suku Batak dan Bali, misalnya, perkawinan
dilangsungkan di rumah pihak lelaki. Sementara, di Sunda
atau Jawa pernikahan diadakan di rumah pihak perempuan.
Upacara pun dilakukan ketika seorang didaulat menjadi kepala
suku. Sebelum masa praaksara, masyarakat Nusantara telah
menganggap pentingnya kedudukan seorang kepala suku dalam
sebuah komunitas. Kriteria seorang pemimpin suku ini di antaranya:
harus kuat jasmani-rohani, memiliki kekuatan magis, kharismatik,
dan berpengalaman melebihi orang-orang sekitarnya.
Kepala suku ini akan berperan sebagai pelindung sukunya dari
berbagai ancaman suku lain, binatang liar, dan wabah penyakit.
Ia pun akan dijadikan sebagai penasihat bagi anggota sukunya,
pemimpin dalam upacara-upacara penguburan atau perkawinan.
Pada masyarakat tradisional, peperangan antar suku merupakan
hal lazim terjadi. Biasanya, hal-hal yang menjadi penyebab peperangan
ini adalah masalah perbatasan wilayah, adanya pertikaian
antarpribadi yang berbeda suku asal, mempertahankan harga diri
suku masing-masing, atau memang untuk membuktikan siapa
pihak terkuat. Oleh karena itu, guna memenangkan peperangan
masing-masing pihak yang berseteru mengharapkan kekuatan
yang lebih. Untuk memperoleh kekuatan itu, mereka minta arwah
atau roh leluhur untuk membantu mereka. Secara umum dapat
kita simpulkan bahwa upacara-upacara dikaitkan dengan adanya
kepercayaan yang menampilkan tokoh yang disakralkan. Di lain
pihak upacara-upacara juga dapat menjelaskan masa lalu dan
kesadaran masyarakat terhadap masa lalunya, contohnya adalah
pada masyarakat agraris dengan upacara penghormatan terhadap
Dewi Sri selain itu pada masyarakat pantai muncul upacara untuk
menghormati tokoh Nyi Roro Kidul.
6. Nyanyian Rakyat (Folksongs)
Nyanyian rakyat adalah salah satu bentuk folklor yang terdiri dari
kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara masyarakat
tertentu dan berbentuk tradisional serta banyak memiliki varian.
Dalam nyanyian rakyat kata-kata dan lagu merupakan satukesatuan
yang tak terpisahkan. Akan tetapi, teks yang sama tidakselalu
dinyanyikan dengan lagu yang sama. Sebaliknya, lagu yangsama
sering dipergunakan untuk menyanyikan beberapa teks nyanyian
Bab 2 Tradisi Sejarah Masyarakat Indonesia Sebelum dan Sesudah Mengenal Aksara. 43
rakyat yang berbeda. Nyanyian rakyat memiliki perbedaan dengan
nyanyian lainnya, seperti lagu pop atau klasik. Hal ini karena sifat
dari nyanyian rakyat yang mudah dapat berubah-ubah, baik bentuk
maupun isinya. Sifat tidak kaku ini tidak dimiliki oleh bentuk
nyanyian lainnya. Nyanyian rakyat lebih luas peredarannya pada
suatu masyarakat dari pada lagu-lagu lainnya. Karena nyanyian
rakyat beredar, baik di kalangan melek huruf maupun buta huruf,
kalangan atas maupun kalangan bawah. Umur nyanyian rakyat
pun lebih panjang daripada nyanyian pop. Bentuk nyanyian rakyat
juga beraneka ragam, yakni dari yang paling sederhana sampai
yang cukup rumit. Penyebarannya melahirkan tradisi lisan menyebabkan
nyanyian rakyat cenderung bertahan sangat lama dan
memiliki banyak varian-varian. Nyanyian rakyat memiliki fungsi
sebagai pelipur lara, nyanyian jenaka, nyanyian untuk mengiringi
permainan anak-anak, dan nyanyian “Nina Bobo”. Fungsi yang
kedua adalah sebagai pembangkit semangat, seperti nyanyian
kerja ”Holopis Kuntul Baris”, nyanyian untuk baris-berbaris,
perjuangan dan sebagainya. Fungsi ketiga adalah untuk memelihara
sejarah setempat, dan klen. Di Nias ada nyanyian rakyat
yang disebut Hoho, yang dipergunakan untuk memelihara silsilah
klen besar orang Nias yang disebut Mado. Fungsi keempat adalah
sebagai protes sosial, mengenai ketidakadilan dalam masyarakat,
negara bahkan dunia.
Dari berbagai jenis nyanyian rakyat, yang dapat dipertimbangkan
sebagai salah satu sumber dari penulisan sejarah adalah
nyanyian rakyat yang bersifat berkisah, nyanyian rakyat yang
tergolong dalam kelompok ini adalah Balada dan Epos. Perbedaan
antara balada dan epos terletak pada tema ceritanya. Tema cerita
balada mengenai kisah sentimentil dan romantis, sedangkan epos
atau wiracarita mengenai cerita kepahlawanan. Keduanya memiliki
bentuk bahasa yang bersajak. Nyanyian yang bersifat berkisah
ini banyak terdapat di Indonesia. Di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Bali terdapat epos yang berasal dari epos besar
Mahabarata dan Ramayana. Nyanyian rakyat di Jawa Tengah dan
Jawa Timur juga di sebut sebagai ”Gending”. Gending-gending
tersebut masih dibagi ke dalam beberapa jenis seperti Sinom,
Pucung dan Asmaradhana, Balada di Jawa Barat diwakili oleh
Pantun Sunda.
Seorang sarjana Belanda bernama C.M. Pleyte telah mengumpulkan
pantun Sunda mengenai Lutung Kesarung (1910) dan
Nyai Sumur Bandung (1911). Penelitian pantun Sunda berikutnya
dilakukan oleh Ajip Rosidi yang berhasil mengumpulkan 26
pantun Sunda dan 14 di antaranya sudah diterbitkan pada tahun
1973. Di antara Pantun Sunda yang berhasil direkam oleh Ajip
Rosidi tersebut antara lain: ”Tjarita Mundinglaja di Kusuma”,
”Tjerita Nyi Sumur Bandung”, dan ”Tjarita Demung Kalagan”.
Kebanyakan teks pantun-pantun itu panjang.
                                                                                                                   hal  6

.....lanjutan bab II

4. Legenda
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya
cerita sebagai suatu yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu,
legenda seringkali dipandang sebagai ”sejarah” kolektif (folkstory).
Walaupun demikian, karena tidak tertulis maka kisah tersebut
telah mengalami distorsi sehingga seringkali jauh berbeda dengan
kisah aslinya. Oleh karena itu, jika legenda hendak dipergunakan
sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah maka legenda harus
bersih dari unsur-unsur yang mengandung sifat-sifat folklor.
Jan Harold Brunvand menggolongkan legenda menjadi empat
kelompok, yaitu legenda keagamaan (religious legends) legenda
alam gaib (supernatural legends), legenda perseorangan (personal
legends), dan legenda setempat (local legends).
a. Legenda Keagamaan
Legenda keagamaan adalah legenda orang-orang yang dianggap
suci atau saleh. Karya semacam itu termasuk folklor karena versi
asalnya masih tetap hidup di kalangan masyarakat sebagai tradisi
lisan.
Di Jawa hagiografi menceritakan riwayat hidup para wali
penyebar Islam pada masa yang paling awal. Salah satu contohnya
adalah legenda Wali Sembilan (Wali Songo) mereka adalah Maulana
Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri,
Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria,
dan Sunan Gunung Jati.
Selain sembilan wali tersebut, di Jawa masih banyak wali-wali
lain. Legenda tentang mereka mudah dikenali sebab makammakamnya
diziarahi pada peringatan kematiannya (haul) yang
disebut keramat atau punden. Para juru kunci itu pada umumnya,
dapat menceritakan legenda orang sucinya. D.A. Rinkes dalam
bukunya berjudul De Heiligen van Java (Orang-orang Saleh dari
Jawa) menyebutkan beberapa wali lain di antaranya: Syeh Abdul
Muhyi, Syeh Siti Jenar, Sunan Geseng, Ki Pandan Arang,
dan Pangeran Panggung, Syeck Abdul Qodir Jaelani, dan lainlain.
b. Legenda Alam Gaib
Legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap
benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda
semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran ”takhayul” atau
kepercayaan rakyat. Contoh legenda ini yaitu kepercayan terhadap
adanya hantu, gendruwo, sundel bolong serta nyi blorong.
c. Legenda Perseorangan
Legenda perseorangan merupakan cerita mengenai tokoh-tokoh
tertentu yang dianggap benar-benar terjadi. Di Indonesia legenda
semacam ini banyak sekali. Di Jawa Timur yang paling terkenal
adalah legenda tokoh Panji. Panji adalah seorang putra raja Kerajaan
Kahuripan di Jawa Timur yang senantiasa kehilangan istrinya.
Akibatnya, banyak muncul cerita Panji yang temanya selalu
perihal istrinya yang menjelma menjadi wanita lain. Cerita Panji
yang semula merupakan kesusasteraan lisan (legenda), namun
telah banyak dicatat orang sehingga mempunyai beberapa versi
dalam bentuk tulisan. Beberapa cerita yang tergolong ke dalam
cerita panji misalnya “Ande-Ande Lumut” (dongeng Cinderella
ala Jawa), Kethek Ogleng (seorang pangeran disihir menjadi seekor
kera), ”Cerita Sri Tanjung”, ”Jayaprana dan Layongsari”.
Suatu jenis legenda perseorangan mengenai perampok seperti
Robin Hood, yang merampok penguasa korup atau orang kaya
untuk didermakan kepada rakyat miskin. Legenda semacam ini
di Jakarta pada ”tempo doeloe” adalah kisah petualangan ”Si
Pitung”.
d. Legenda Setempat
Legenda setempat adalah cerita yang berhubungan dengan suatu
tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yaitu bentuk permukaan
suatu tempat, berbukit-bukit, berjurang dan sebagainya.
Legenda setempat yang berhubungan dengan nama suatu tempat
misalnya, legenda Kuningan. Kuningan adalah nama suatu kota
kecil yang terletak di lereng Gunung Ceremai, di sebelah selatan
kota Cirebon, Jawa Barat. Contoh lain mengenai legenda setempat
yang berhubungan erat dengan nama tempat adalah legenda
“Anak-anak Dalem Solo yang Mengembara Mencari Sumber Bau
Harum”. Legenda ini berasal dari Trunyan, Bali. Legenda ini
dapat dimasukkan ke dalam golongan legenda setempat karena
menceritakan asal mula nama beberapa desa di sekitar Danau
Batur, seperti Kedisan, Abang Dukuh, dan Trunyan. Selain itu
contoh-contoh lain legenda setempat ini misalnya ”Asal Mula
Nama Banyuwangi”, serta legenda ”Roro Jongrang”, ”Tangkuban
Perahu”, ”Asal Mula nama Tengger dan Terjadinya Gunung
Batok” serta “asal mula nama kota Bogor”.
5. Upacara-Upacara Adat Istiadat
Sebelum pengaruh India masuk, masyarakat kuno Nusantara
telah mengenal cara-cara upacara. Prosesi upacara ini dilaksanakan
untuk menghormati roh nenek-moyang. Upacara ini dapat
dilaksanakan pada berbagai kesempatan. Ada yang dilaksanakan
pada proses penguburan, untuk keperluan perkawinan, ketika
pengangkatan kepala suku, ketika panen padi, ketika sedekah
laut, atau ketika menjelang peperangan. Upacara ini pun sering
dibarengi dengan pertunjukan wayang, terutama setelah panen
padi. Upacara-upacara yang berkembang di masyarakat biasanya
didasari oleh adanya keyakinan agama, atau pun kepercayaan
Bab 2 Tradisi Sejarah Masyarakat Indonesia Sebelum dan Sesudah Mengenal Aksara. 39
mereka. Upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari
hubungan dengan Tuhan, para dewa, atau makhluk-makhluk halus
yang mendiami alam gaib. Upacara tersebut juga dimaksudkan
untuk mendapatkan kemurahan hati para dewa dan untuk menghindarkan
diri dari kemarahan para dewa yang seringkali diwujudkan
dengan berbagai malapetaka dan bencana alam. Upacara
Larung Samudro, misalnya yang diselenggarakan setiap tanggal 1
Suro dalam kalender Jawa, dimaksudkan untuk menghindarkan
diri dari kemarahan Ratu Pantai Selatan sebagai penguasa Laut
Selatan.
Adakalanya upacara-upacara itu terkait dengan legenda yang
berkembang di kalangan masyarakatnya tentang asal-usul keturunan
mereka sehingga upacara itu juga sebagai alat legitimasi
tentang keberadaan mereka seperti yang tertuang dalam cerita
rakyat itu. Hal ini tampak dalam upacara Kasodo yang diselenggarakan
setiap tahun sekali oleh masyarakat Tengger di sekitar
Gunung Bromo.
Bagi sebuah kerajaan besar seperti Majapahit dan Mataram,
upacara-upacara hari-hari besar kenegaraan dan keagamaan memiliki
arti penting. Upacara tersebut sebagai pertanda kebesaran
kerajaan, sekaligus juga sebagai alat pemersatu dari wilayahwilayah
yang dikuasai serta memperkokoh legitimasi kekuasaan
pusat. Sejak zaman Kerajaan Majapahit sudah terdapat kebiasaan
untuk merayakan hari besar nasional, baik berupa upacara-upacara
keagamaan maupun kenegaraan. Setelah masuknya agama dan
kebudayaan Islam upacara tersebut diwarnai dengan unsur-unsur
islami. Upacara ”Sekaten” misalnya, pada mulanya merupakan
upacara Aswamenda dan Asmaradahana yang dilakukan dengan
meriah pada zaman pemerintahan Batara Prabu Brawijaya V dari
Kerafaan Majapahit akhir. Upacara tersebut kemudian diubah
                                                                                                                    hal  5

Rabu, 11 November 2009

BAB II MENGENAL TRADISI MASY. INDONESIA

Menurut Koentjaraningrat dalam buku hasil karya dari C. Kluckohn "Universal Of Culture",mengatakan ada 7 unsur budaya secara umum, yaitu:
1.  Sistem Kepercayaan
     Pada masyarakat Indonesia awal perkembangannya mengenal 2 kepercayaan yang elah dianut, yaitu Animisme (Percaya ada roh nenek moyang) dan Dinamisme (percaya pada benda yang memiliki kekuatan gaib).  Kemudian kepercayaan itu berkembang sampai ada suatu kepercayan yang sampai detik ini dipercay oleh sebagian orang Jawa dengan sebutan Kejawen, sedangkan pada masyarakat Sunda perkembangannya di daerah Baduy dengan nama Sunda Wiwitan.  Perkembangan kepercayaan ini hingga berkembang ke bentuk agama dengan penyebaran di Indonesia meliputi Hindu, Budha, Keristen dan Islam.
2.  Sistem Kemasyarakatan
     Pada perkembangannya mengenai kemasyarakatan mengenal 2 bentuk yaitu Sistem Kekerabatan dan Sistem Perkawinan.  Dalam sistem kekerabatan di Indonesia sangatlah lengkap, hal ini terbukti dengan beberapa bentuk sistem kekerabatan di Indonesia seperti Patrilineal (Sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak Ayah/Laki-laki, yang banyak dianut oleh masyarakat suku Batak), Matrilineal (Sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak Ibu/ Perempuan, yang dianut oleh Masyarakat suku Minangkabau), Bilateral (Sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari kedua belah pihak, baik ayah ataupun ibu, salah satu penganutnya oleh suku Sunda dan Jawa).
     Kemudian dalam sistem perkawinan mengenal beberapa sistem, yaitu Monogami (Sistem perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam waktu yang sama), Poligami (Perkawinan yang dilakukan oleh lebih dari seorang laki-laki atau perempuan dalam waktu yang sama) jenis poligami ada 2 yaitu Poliandri (Perkawinan yang dilakukan oleh seorang perempuan dengan lebih dari seorang laki-laki dalam waktu yang sama), Poligini (Perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang sama) Eksogami(Perkawinan yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan diluar (Marga/klen) satu kesatuan masyarakatnya , contohnya masyarakat suku Batak), Endogami(Perkawinan yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan didalam Marga/klen/kasta) satu kesatuan masyarakatnya).
3.  Sistem Pertanian
     Masyarakat Indonesia mengenal sistem pertanian mulai dari pertanian berpindah, berladang, bercocok tanam dan bertani menetap.
4.  Pelayaran dan Perdagangan
     Masyarakat kita dikenal seorang pelaut, karena dari awal perkembanganya nenek moyang kita yang berasal dari dataran tinggi Yunan dan sampai ke Indonesia dengan menggunakan perahu bercadik. dan dalam perdaganganpun pernah melakukan sistem barter (tukar menukar)
5.  Sistem Bahasa
     Dalam masalah bahasa bangsa Indonesia termasuk kedalam rumpun bahasa Austronesia, bahkan bangsa Indonesia negenal istilah Lingua Franca (bahasa pergaulan) sebagai penghubung untuk berkomunikasi.
6.  Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
     Senjata, perkakas dapur, alat rumah tangga dan perhiasan, banyak ditemukan di wilayah Indonesia, hal ini menandakan dalam segi perkembangan Ilmu pengetahuan, masyarakat Indonesia tidak ketinggalan.
7.  Seni/ Kesenian
     Masyarakat Indonesi dengan beraneka ragamnya memiliki banyak seni dan kesenian yang telah dihasilkan, terbukti dengan perkembangan kesenian di masing-masing daerah pada zaman sekarang.
                                                                                                                     hal  1

Selasa, 10 November 2009

LANJUTAN BAB II

hal 4............
4. Legenda
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya
cerita sebagai suatu yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu,
legenda seringkali dipandang sebagai ”sejarah” kolektif (folkstory).
Walaupun demikian, karena tidak tertulis maka kisah tersebut
telah mengalami distorsi sehingga seringkali jauh berbeda dengan
kisah aslinya. Oleh karena itu, jika legenda hendak dipergunakan
sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah maka legenda harus
bersih dari unsur-unsur yang mengandung sifat-sifat folklor.
Jan Harold Brunvand menggolongkan legenda menjadi empat
kelompok, yaitu legenda keagamaan (religious legends) legenda
alam gaib (supernatural legends), legenda perseorangan (personal
legends), dan legenda setempat (local legends).
a. Legenda Keagamaan
Legenda keagamaan adalah legenda orang-orang yang dianggap
suci atau saleh. Karya semacam itu termasuk folklor karena versi
asalnya masih tetap hidup di kalangan masyarakat sebagai tradisi
lisan.
Di Jawa hagiografi menceritakan riwayat hidup para wali
penyebar Islam pada masa yang paling awal. Salah satu contohnya
adalah legenda Wali Sembilan (Wali Songo) mereka adalah Maulana
Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri,
Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria,
dan Sunan Gunung Jati.
Selain sembilan wali tersebut, di Jawa masih banyak wali-wali
lain. Legenda tentang mereka mudah dikenali sebab makammakamnya
diziarahi pada peringatan kematiannya (haul) yang
disebut keramat atau punden. Para juru kunci itu pada umumnya,
dapat menceritakan legenda orang sucinya. D.A. Rinkes dalam
bukunya berjudul De Heiligen van Java (Orang-orang Saleh dari
Jawa) menyebutkan beberapa wali lain di antaranya: Syeh Abdul
Muhyi, Syeh Siti Jenar, Sunan Geseng, Ki Pandan Arang,
dan Pangeran Panggung, Syeck Abdul Qodir Jaelani, dan lainlain.
b. Legenda Alam Gaib
Legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap
benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda
semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran ”takhayul” atau
kepercayaan rakyat. Contoh legenda ini yaitu kepercayan terhadap
adanya hantu, gendruwo, sundel bolong serta nyi blorong.
c. Legenda Perseorangan
Legenda perseorangan merupakan cerita mengenai tokoh-tokoh
tertentu yang dianggap benar-benar terjadi. Di Indonesia legenda
semacam ini banyak sekali. Di Jawa Timur yang paling terkenal

mengambil air dari gentong di
komplek Makam Sunan Gunung
Jati, Cirebon.
Agama dan Upcara
adalah legenda tokoh Panji. Panji adalah seorang putra raja Kerajaan
Kahuripan di Jawa Timur yang senantiasa kehilangan istrinya.
Akibatnya, banyak muncul cerita Panji yang temanya selalu
perihal istrinya yang menjelma menjadi wanita lain. Cerita Panji
yang semula merupakan kesusasteraan lisan (legenda), namun
telah banyak dicatat orang sehingga mempunyai beberapa versi
dalam bentuk tulisan. Beberapa cerita yang tergolong ke dalam
cerita panji misalnya “Ande-Ande Lumut” (dongeng Cinderella
ala Jawa), Kethek Ogleng (seorang pangeran disihir menjadi seekor
kera), ”Cerita Sri Tanjung”, ”Jayaprana dan Layongsari”.
Suatu jenis legenda perseorangan mengenai perampok seperti
Robin Hood, yang merampok penguasa korup atau orang kaya
untuk didermakan kepada rakyat miskin. Legenda semacam ini
di Jakarta pada ”tempo doeloe” adalah kisah petualangan ”Si
Pitung”.
d. Legenda Setempat
Legenda setempat adalah cerita yang berhubungan dengan suatu
tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yaitu bentuk permukaan
suatu tempat, berbukit-bukit, berjurang dan sebagainya.
Legenda setempat yang berhubungan dengan nama suatu tempat
misalnya, legenda Kuningan. Kuningan adalah nama suatu kota
kecil yang terletak di lereng Gunung Ceremai, di sebelah selatan
kota Cirebon, Jawa Barat. Contoh lain mengenai legenda setempat
yang berhubungan erat dengan nama tempat adalah legenda
“Anak-anak Dalem Solo yang Mengembara Mencari Sumber Bau
Harum”. Legenda ini berasal dari Trunyan, Bali. Legenda ini
dapat dimasukkan ke dalam golongan legenda setempat karena
menceritakan asal mula nama beberapa desa di sekitar Danau
Batur, seperti Kedisan, Abang Dukuh, dan Trunyan. Selain itu
contoh-contoh lain legenda setempat ini misalnya ”Asal Mula
Nama Banyuwangi”, serta legenda ”Roro Jongrang”, ”Tangkuban
Perahu”, ”Asal Mula nama Tengger dan Terjadinya Gunung
Batok” serta “asal mula nama kota Bogor”.
5. Upacara-Upacara Adat Istiadat
Sebelum pengaruh India masuk, masyarakat kuno Nusantara
telah mengenal cara-cara upacara. Prosesi upacara ini dilaksanakan
untuk menghormati roh nenek-moyang. Upacara ini dapat
dilaksanakan pada berbagai kesempatan. Ada yang dilaksanakan
pada proses penguburan, untuk keperluan perkawinan, ketika
pengangkatan kepala suku, ketika panen padi, ketika sedekah
laut, atau ketika menjelang peperangan. Upacara ini pun sering
dibarengi dengan pertunjukan wayang, terutama setelah panen
padi. Upacara-upacara yang berkembang di masyarakat biasanya
didasari oleh adanya keyakinan agama, atau pun kepercayaan
Bab 2 Tradisi Sejarah Masyarakat Indonesia Sebelum dan Sesudah Mengenal Aksara. 39
mereka. Upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari
hubungan dengan Tuhan, para dewa, atau makhluk-makhluk halus
yang mendiami alam gaib. Upacara tersebut juga dimaksudkan
untuk mendapatkan kemurahan hati para dewa dan untuk menghindarkan
diri dari kemarahan para dewa yang seringkali diwujudkan
dengan berbagai malapetaka dan bencana alam. Upacara
Larung Samudro, misalnya yang diselenggarakan setiap tanggal 1
Suro dalam kalender Jawa, dimaksudkan untuk menghindarkan
diri dari kemarahan Ratu Pantai Selatan sebagai penguasa Laut
Selatan.
Adakalanya upacara-upacara itu terkait dengan legenda yang
berkembang di kalangan masyarakatnya tentang asal-usul keturunan
mereka sehingga upacara itu juga sebagai alat legitimasi
tentang keberadaan mereka seperti yang tertuang dalam cerita
rakyat itu. Hal ini tampak dalam upacara Kasodo yang diselenggarakan
setiap tahun sekali oleh masyarakat Tengger di sekitar
Gunung Bromo.
Bagi sebuah kerajaan besar seperti Majapahit dan Mataram,
upacara-upacara hari-hari besar kenegaraan dan keagamaan memiliki
arti penting. Upacara tersebut sebagai pertanda kebesaran
kerajaan, sekaligus juga sebagai alat pemersatu dari wilayahwilayah
yang dikuasai serta memperkokoh legitimasi kekuasaan
pusat. Sejak zaman Kerajaan Majapahit sudah terdapat kebiasaan
untuk merayakan hari besar nasional, baik berupa upacara-upacara
keagamaan maupun kenegaraan. Setelah masuknya agama dan
kebudayaan Islam upacara tersebut diwarnai dengan unsur-unsur
islami. Upacara ”Sekaten” misalnya, pada mulanya merupakan
upacara Aswamenda dan Asmaradahana yang dilakukan dengan
meriah pada zaman pemerintahan Batara Prabu Brawijaya V dari
Kerafaan Majapahit akhir. Upacara tersebut kemudian diubah
Gambar 2.10 Para abdi dalam
Keraton Yogyakarta membawa
sesajian ke pantai Parang Tritis
sebagai persembahan mereka
kepada Ratu Pantai Selatan,
Nyi Roro Kidul.
menjadi upacara ”Sekaten” oleh Sunan Kalijaga pada zaman kekuasaan
Kerajaan Demak. Nama sekaten merupakan penyesuaian
makna dari nama ”Jimat Kalimasada” yang berarti (obat mujarab
dari Dewi Kali). Pada zaman Islam Kalimasada mendapat makna
baru, yaitu Kalimat Syahadat. Oleh karena itu, perayaan Sekaten
yang pada zaman Majapahit bermakna sebagai penghibur Sesak
Hati (Sesak-Hatian = Sekaten), pada zaman para wali diubah
menjadi menjadi Syahadatain. Upacara ini kemudian dirayakan
lebih meriah pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma,
raja terbesar Mataram. Bahkan, sampai sekarang upacara
tersebut tetap dilakukan setiap tahun di Kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam.
Sultan Agung mengembangkan rintisan para Wali dengan
membesarkan perayaan Gerebeg yang berarti Hari Besar. Sejak
masa pemerintahan Sultan Agung dikenal adanya tiga macam
Gerebeg, yaitu sebagai berikut.
(a) Gerebeg Pasa, hari raya setelah selesai berpuasa, yakni hari
raya Idul Fitri,
(b) Gerebeg Besar, hari raya Idul Adha, dan
(c) Gerebeg Maulud, perayaan hari raya maulid Nabi Muhammad
Saw. yang sekarang menjadi hari peringatan ”Sekaten”.
(d) Upacara Pajang Jimat di Cirebon.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Sultan Agung telah melakukan
proses adaptasi (penyesuaian) kebudayaan. Tradisi yang
telah berumur lama disesuaikan dengan keadaan zaman yang baru
yang didambakan oleh rakyatnya pada waktu itu.

LANJUTAN BAB II

 hal 3........

(2) ungkapan tradisional seperti peribahasa dan sindiran;
(3) pertanyaan tradisonal yang dikenal sebagai teka-teki;
(4) sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan syair;
(5) cerita prosa rakyat, cerita prosa rakyat dapat dibagi ke dalam
tiga golongan besar, yaitu: mite (myth), legenda (legend), dan
dongeng (folktale), seperti Malin Kundang dari Sumatra Barat,
Sangkuriang dari Jawa Barat, Roro Jonggrang dari Jawa Tengah,
dan Jaya Prana serta Layonsari dari Bali;
(6) nyanyian rakyat, seperti “Jali-Jali” dari Betawi.
b. Folklor sebagian Lisan
Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact), meliputi
sebagai berikut:
(1) kepercayaan dan takhayul;
(2) permainan dan hiburan rakyat setempat;
(3) teater rakyat, seperti lenong, ketoprak, dan ludruk;
(4) tari rakyat, seperti tayuban, doger, jaran, kepang, dan ngibing,
ronggeng;
(5) adat kebiasaan, seperti pesta selamatan, dan khitanan;
(6) upacara tradisional seperti tingkeban, turun tanah, dan temu
manten;
(7) pesta rakyat tradisional seperti bersih desa dan meruwat.
c. Folklor Bukan Lisan
Folklor ini juga dikenal sebagai artefak meliputi sebagai berikut:
(1) arsitektur bangunan rumah yang tradisional, seperti Joglo
di Jawa, Rumah Gadang di Minangkabau, Rumah Betang di
Kalimantan, dan Honay di Papua;
Gambar 2.7
Suku Sunda menyanyikan
pantun.
Sumber Indonesian Heritage: Agama dan Upacara.
Bab 2 Tradisi Sejarah Masyarakat Indonesia Sebelum dan Sesudah Mengenal Aksara. 35
(2) seni kerajinan tangan tradisional,
(3) pakaian tradisional;
(4) obat-obatan rakyat;
(5) alat-alat musik tradisional;
Gambar 2.8 Upacara Seren
taun di Kasepuhan Banten
Kidul sebagai penghormatan
kepada Dewi Sri.
Sumber: Kompas
(6) peralatan dan senjata yang khas tradisional;
(7) makanan dan minuman khas daerah.
3. Mitos
Mitos atau mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi
oleh para dewa atau makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia
lain (kahyangan) pada masa lampau dan dianggap benar-benar
terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Mitos pada
umumnya mengisahkan tentang terjadinya alam semesta, dunia,
manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk
topografi, gejala alam dan sebagainya. Mitos juga mengisahkan
petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, kisah perang mereka
dan sebagainya. Selain berasal dari Indonesia, adapula mitos
yang berasal dari luar negeri. Mitos yang berasal dari luar negeri
pun pada umumnya sudah mengalami pengolahan lebih lanjut
sehingga tidak terasa lagi asing. Hal ini disebabkan cerita-cerita
itu mengalami proses adaptasi. Menurut Moens-Zorab orang Jawa
bukan saja telah mengambil alih mitos-mitos dari India, melainkan
juga telah mengadopsi dewa-dewa serta pahlawan-pahlawan
Hindu sebagai dewa dan pahlawan Jawa. Bahkan orang Jawa pun
percaya bahwa mitos-mitos itu (di antaranya berasal dari cerita
epos Ramayana dan Mahabharata) terjadi di Jawa. Di Jawa Timur
misalnya, Gunung Semeru dianggap oleh orang Hindu Jawa dan
Bali sebagai gunung suci Mahameru, atau sedikitnya sebagai Puncak
Mahameru yang dipindahkan dari India ke Pulau Jawa.
36 Sejarah SMA/MA Jilid 1 Kelas X
Mitos di Indonesia biasanya menceritakan terjadinya alam
semesta (cosmogony) terjadinya susunan para dewa dunia dewata
(pantheon) terjadinya manusia pertama dan tokoh pahlawan budaya
(culture hero); terjadinya makanan pokok, seperti beras dan
sebagainya. Mengenai mite terjadinya padi, dikenal adanya Dewi
Sri yang dianggap sebagai dewi padi orang Jawa. Menurut versi
Surabaya (Jawa Timur), Dewi Sri adalah putri raja Purwacarita. la
mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Sadana. Pada
suatu hari selagi tidur, Sri dan Sedana disihir oleh ibu tirinya. Sadana
diubah menjadi seekor burung layang-layang dan Sri diubah
menjadi ular sawah. Versi lain dari Jawa menceritakan bahwa padi
berasal dari jenazah Dewi Sri, istri Dewa Wisnu.
Selain padi ada tanaman-tanaman lain yang juga berasal
dari jenazah Dewi Sri, seperti: dari tubuhnya tumbuh pohon
aren; dari kepalanya tumbuh pohon kelapa dari kedua tangannya
tumbuh pohon buah-buahan; dari kedua kakinya tumbuh tanaman
akar-akaran, seperti ubi jalar dan talas. Dewi Sri meninggal
karena dirongrong terus menerus oleh raksasa yang bernama Kala
Gumarang. Raksasa ini sangat keras hati sehingga walau sudah
meninggal ia masih menjelma menjadi rumput liar, yang selalu
mengganggu tanaman padi, jelmaan Dewi Sri. Istilah motif dalam
ilmu folklor berarti unsur-unsur suatu cerita. Motif teks cerita
rakyat adalah unsur dari suatu cerita yang menonjol dan tidak
biasa sifatnya. Unsur itu dapat berupa benda, hewan yang luar
biasa, suatu konsep (larangan atau tabu), suatu perbuatan (ujian
ketangkasan), penipuan terhadap suatu tokoh, angka keramat dan
sebagainya. Mengenai mitologi tentang tokoh-tokoh rakyat di
seluruh dunia, seperti cerita Oedipus, Theseus, Romulus, Nyikang
(dari Afrika), dan Ratu Watu Gunung (dari Jawa) pada umumnya
mengandung unsur-unsur di antaranya: ibunya seorang perawan;
ayahnya seorang raja; terjadi proses perkawinan yang tidak wajar;
ia dikenal juga sebagai putra dewa; ada usaha sang ayah untuk
membunuhnya; disembunyikan secara rahasia; dipelihara oleh
orang tua angkatnya; kembali menuju dan menduduki tahrta
kerajaan; menikah dengan seorang putri; dan sebagainya.
Dengan mengamati unsur-unsur yang mendasari mitos
maupun legenda tokoh-tokoh rakyat seluruh dunia. Raglan berkesimpulan
bahwa penyebab adanya kesamaan riwayat hidup
tokoh-tokoh dalam cerita prosa rakyat karena adanya pola perumusan
yang sama. Oleh karena itu, walaupun tokoh-tokoh itu
benar-benar ada, tetapi cerita siklus tokoh-tokoh rakyat kurang
mengandung nilai sejarah. Hal ini disebabkan cerita prosa rakyat
itu sudah diubah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan rumus

LANJUTAN BAB II

Hal 2......
tang perkawinan sumbang antara seorang laki-laki dengan ibu
kandungnya (mother incest prophecy) dan pembunuhan ayah oleh
putra kandungnya secara tidak sengaja. Di Indonesia dongeng
yang setipe dengan Oedipus, yaitu dongeng Sangkuriang atau
disebut juga ”Legenda Terjadinya Gunung Tangkuban Perahu”
dari Jawa Barat. Di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali terdapat
mite ”Prabu Watu Gunung” dan dari Nanga Serawai Kalimantan
Barat terdapat dongeng ”Bujang Munang”. Dongeng biasa lainnya
di Indonesia yang penyebarannya luas adalah yang bertipe
Swan Maiden (Gadis Burung Undan), yaitu dongeng atau legenda
mengisahkan seorang putri yang berasal dari burung undan atau
bidadari, yang terpaksa menjadi manusia karena kulit burungnya
atau pakaian bidadarinya disembunyikan seseorang sewaktu ia
sedang mandi. la kemudian menjadi istri laki-laki itu dan baru
dapat kembali ke kayangan setelah menemukan kembali kulit,
pakaian burung atau pakaian bidadarinya. Dongeng biasa seperti
ini selain terdapat di Indonesia juga terdapat di India, Spanyol,
Jerman, Perancis, Arab, Persia, Polinesia, Melanesia, Australia dan
Eskimo. Beberapa contoh dari Indonesia adalah dongeng Raja Pala
dari Bali, Joko Tarub dari Jawa Timur (Tuban) dan Pasir Kujang
dari Pasundan, Jawa Barat.
Tampaknya cerita rakyat Indonesia, khususnya yang berasal
dari suku bangsa Jawa, Sunda, dan Bali banyak memperoleh
pengaruh dari luar. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa
mereka telah mengambil alih begitu saja dari luar, melainkan
telah mereka olah terlebih lanjut sesuai dengan kebudayaan
mereka sehingga tidak terasa keasingannya. Keadaan demikian
wajar, sebab sejarah bangsa Indonesia sejak dahulu kala memang
bersentuhan dengan peradaban-peradaban besar seperti Hindu,
Islam, Cina dan Ero-Amerika.
2. Folklor
Folklor adalah adat-istiadat tradisonal dan cerita rakyat yang diwariskan
secara turun-temurun, dan tidak dibukukan merupakan
kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan turun menurun.
Kata folklor merupakan pengindonesiaan dari bahasa Inggris.
Kata tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata
dasar yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes kata berarti sekelompok
orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan
kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok
sosial lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain, berupa warna
kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan,
dan agama yang sama. Namun, yang lebih penting lagi adalah
bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yaitu kebudayaan
yang telah mereka warisi secara turun-temurun, sedikitnya dua
generasi, yang telah mereka akui sebagai milik bersama. Selain
itu, yang paling penting adalah bahwa mereka memiliki kesadaran
akan identitas kelompok mereka sendiri. Kata lore merupakan
tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara
lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak
isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Dengan
demikian, pengertian folklor adalah bagian dari kebudayaan yang
disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk
lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat.
Perkembangan folklor tidak hanya terbatas pada golongan
petani desa, tetapi juga nelayan, pedagang, peternak, pemain sandiwara,
guru sekolah, mahasiswa, tukang becak, dan sebagainya.
Demikian juga penelitian folklor bukan hanya terhadap orang Jawa,
tetapi juga orang Sunda, orang Bugis, orang Menado, orang Ambon
dan sebagainya. Bukan hanya untuk penduduk yang beragama
Islam, melainkan juga orang Katolik, Protestan, Hindu Dharma,
Buddha, bahkan juga Kaharingan (Dayak), Melohe Adu (Nias),
dan semua kepercayaan yang ada. Folklor juga berkembang baik
di desa maupun di kota, di keraton maupun di kampung, baik pada
pribumi maupun keturunan asing, asal mereka memiliki kesadaran
atas identitas kelompoknya.
Agar dapat membedakan antara folklor dengan kebudayaan
lainnya, harus diketahui ciri-ciri pengenal utama folklor. Folklor
memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
(a) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara
lisan, yaitu melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu
generasi ke generasi selanjutnya.

(b) Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif
tetap atau dalam bentuk standar.
(c) Berkembang dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan
penyebarannya secara lisan sehingga folklor mudah
mengalami perubahan. Akan tetapi, bentuk dasarnya tetap
bertahan.
(d) Bersifat anonim, artinya pembuatnya sudah tidak diketahui
lagi orangnya.
(e) Biasanya mempunyai bentuk berpola. Kata-kata pembukanya
misalnya. Menurut sahibil hikayat (menurut yang empunya
cerita) atau dalam bahasa Jawa misalnya dimulai dengan
kalimat anuju sawijing dina (pada suatu hari).
(f) Mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif. Cerita rakyat
misalnya berguna sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes
sosial, dan cerminan keinginan terpendam.
(g) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak
sesuai dengan logika umum. Ciri ini terutama berlaku bagi
folklor lisan dan sebagian lisan.
(h) Menjadi milik bersama (colective) dari masyarakat tertentu.
(i) Pada umumnya bersifat lugu atau polos sehingga seringkali
kelihatannya kasar atau terlalu sopan. Hal itu disebabkan banyak
folklor merupakan proyeksi (cerminan) emosi manusia
yang jujur.
Dalam mempelajari kebudayaan (culture) kita mengenal adanya
tujuh unsur kebudayaan universal yang meliputi sistem mata
pencaharian hidup (ekonomi), sistem peralatan dan perlengkapan
hidup (teknologi), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem
pengetahuan, dan sistem religi. Menurut Koentjaraningrat
setiap unsur kebudayaan universal tersebut mempunyai tiga
wujud, yaitu:
(a) wujud sistem budaya, berupa gagasan, kepercayaan, nilainilai,
norma, ilmu pengetahuan, dan sebagainya;
(b) wujud sistem sosial, berupa tindakan sosial, perilaku yang
berpola seperti upacara, kebiasaan, tata cara dan sebagainya;
(c) wujud kebudayaan fisik.
Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor Amerika Serikat,
membagi folklor ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan
tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.
a. Folklor Lisan
Folklor jenis ini dikenal juga sebagai fakta mental (mentifact) yang
meliputi sebagai berikut:
(1) bahasa rakyat seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu,
otomatis;