Sabtu, 14 November 2009

lanjutan BAB II

menjadi upacara ”Sekaten” oleh Sunan Kalijaga pada zaman kekuasaan
Kerajaan Demak. Nama sekaten merupakan penyesuaian
makna dari nama ”Jimat Kalimasada” yang berarti (obat mujarab
dari Dewi Kali). Pada zaman Islam Kalimasada mendapat makna
baru, yaitu Kalimat Syahadat. Oleh karena itu, perayaan Sekaten
yang pada zaman Majapahit bermakna sebagai penghibur Sesak
Hati (Sesak-Hatian = Sekaten), pada zaman para wali diubah
menjadi menjadi Syahadatain. Upacara ini kemudian dirayakan
lebih meriah pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma,
raja terbesar Mataram. Bahkan, sampai sekarang upacara
tersebut tetap dilakukan setiap tahun di Kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam.
Sultan Agung mengembangkan rintisan para Wali dengan
membesarkan perayaan Gerebeg yang berarti Hari Besar. Sejak
masa pemerintahan Sultan Agung dikenal adanya tiga macam
Gerebeg, yaitu sebagai berikut.
(a) Gerebeg Pasa, hari raya setelah selesai berpuasa, yakni hari
raya Idul Fitri,
(b) Gerebeg Besar, hari raya Idul Adha, dan
(c) Gerebeg Maulud, perayaan hari raya maulid Nabi Muhammad
Saw. yang sekarang menjadi hari peringatan ”Sekaten”.
(d) Upacara Pajang Jimat di Cirebon.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Sultan Agung telah melakukan
proses adaptasi (penyesuaian) kebudayaan. Tradisi yang
telah berumur lama disesuaikan dengan keadaan zaman yang baru
yang didambakan oleh rakyatnya pada waktu itu
Sebelum pengaruh Hindu-Buddha hadir, masyarakat kuno di
Nusantara telah mengenal kepercayaan animisme dan dinamisme.
Animisme merupakan kepercayaan terhadap roh nenek-moyang
yang mendiami benda-benda, seperti pohon, batu, sungai, gunung,
senjata. Sedangkan dinamisme adalah kepercayaan bahwa segala
sesuatu memiliki tenaga atau kekuatan yang dapat memengaruhi
keberhasilan atau kegagalan manusia dalam kehidupan. Jadi, kepercayaan
animisme dan dinamisme erat berhubungan dengan alam
kosmik, kekuatan alam sekitar dan roh leluhur. Dari kepercayaan
inilah, upacara ritual kemudian lahir.
Upacara penguburan muncul karena keyakinan bahwa roh
orang yang baru meninggal akan pergi dan berdiam di suatu
tempat yang letaknya tak jauh dari lingkungan tempat ia tinggal
semasa hidup. Dengan demikian, bila sewaktu-waktu desanya
diserang oleh kelompok lain atau desanya diserang wabah penyakit
maka roh orang meninggal tersebut dapat dipanggil kembali
untuk membantu menanggulangi keadaan. Upacara penguburan
ini dilaksanakan sangat sederhana. Namun, di balik kesederhanaannya
itu tersimpan makna yang dalam bahwa meskipun raga
atau badan seseorang telah mati namun rohnya tetap hidup dan
berada di sekitar orang-orang terdekatnya. Biasanya, jenazah yang
bersangkutan disimpan di sebuah goa batu atau di dalam peti batu.
Di dalam goa atau peti batu tersebut disimpan berbagai “bekal”
untuk keperluan jenazah di alam gaib, biasanya berupa alat-alat
perhiasan. Hampir di setiap daerah di Nusantara terdapat upacara
ritual penguburan ini.
Selain pada momen penguburan, upacara juga biasanya
dilaksanakan pada prosesi pernikahan. Pernikahan merupakan
peristiwa bersejarah bagi sepasang manusia yang hendak hidup
bersama. Pernikahan, selain melibatkan dua orang yang berbeda
kelamin, juga mempertemukan dua buah keluarga. Karena keistimewaannya
nilai sebuah perkawinan, manusia pun berusaha
agar momentum tersebut diperlakukan secara spesial. Oleh karena
itu, sebuah upacara pun digelar sebagai tanda bahwa pernikahan
mereka adalah suci.
Tiap-tiap daerah di Indonesia memiliki tata cara yang berbeda
dalam hal upacara perkawinan. Masing-masing mempunyai
peraturan sendiri. Pada suku Batak dan Bali, misalnya, perkawinan
dilangsungkan di rumah pihak lelaki. Sementara, di Sunda
atau Jawa pernikahan diadakan di rumah pihak perempuan.
Upacara pun dilakukan ketika seorang didaulat menjadi kepala
suku. Sebelum masa praaksara, masyarakat Nusantara telah
menganggap pentingnya kedudukan seorang kepala suku dalam
sebuah komunitas. Kriteria seorang pemimpin suku ini di antaranya:
harus kuat jasmani-rohani, memiliki kekuatan magis, kharismatik,
dan berpengalaman melebihi orang-orang sekitarnya.
Kepala suku ini akan berperan sebagai pelindung sukunya dari
berbagai ancaman suku lain, binatang liar, dan wabah penyakit.
Ia pun akan dijadikan sebagai penasihat bagi anggota sukunya,
pemimpin dalam upacara-upacara penguburan atau perkawinan.
Pada masyarakat tradisional, peperangan antar suku merupakan
hal lazim terjadi. Biasanya, hal-hal yang menjadi penyebab peperangan
ini adalah masalah perbatasan wilayah, adanya pertikaian
antarpribadi yang berbeda suku asal, mempertahankan harga diri
suku masing-masing, atau memang untuk membuktikan siapa
pihak terkuat. Oleh karena itu, guna memenangkan peperangan
masing-masing pihak yang berseteru mengharapkan kekuatan
yang lebih. Untuk memperoleh kekuatan itu, mereka minta arwah
atau roh leluhur untuk membantu mereka. Secara umum dapat
kita simpulkan bahwa upacara-upacara dikaitkan dengan adanya
kepercayaan yang menampilkan tokoh yang disakralkan. Di lain
pihak upacara-upacara juga dapat menjelaskan masa lalu dan
kesadaran masyarakat terhadap masa lalunya, contohnya adalah
pada masyarakat agraris dengan upacara penghormatan terhadap
Dewi Sri selain itu pada masyarakat pantai muncul upacara untuk
menghormati tokoh Nyi Roro Kidul.
6. Nyanyian Rakyat (Folksongs)
Nyanyian rakyat adalah salah satu bentuk folklor yang terdiri dari
kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara masyarakat
tertentu dan berbentuk tradisional serta banyak memiliki varian.
Dalam nyanyian rakyat kata-kata dan lagu merupakan satukesatuan
yang tak terpisahkan. Akan tetapi, teks yang sama tidakselalu
dinyanyikan dengan lagu yang sama. Sebaliknya, lagu yangsama
sering dipergunakan untuk menyanyikan beberapa teks nyanyian
Bab 2 Tradisi Sejarah Masyarakat Indonesia Sebelum dan Sesudah Mengenal Aksara. 43
rakyat yang berbeda. Nyanyian rakyat memiliki perbedaan dengan
nyanyian lainnya, seperti lagu pop atau klasik. Hal ini karena sifat
dari nyanyian rakyat yang mudah dapat berubah-ubah, baik bentuk
maupun isinya. Sifat tidak kaku ini tidak dimiliki oleh bentuk
nyanyian lainnya. Nyanyian rakyat lebih luas peredarannya pada
suatu masyarakat dari pada lagu-lagu lainnya. Karena nyanyian
rakyat beredar, baik di kalangan melek huruf maupun buta huruf,
kalangan atas maupun kalangan bawah. Umur nyanyian rakyat
pun lebih panjang daripada nyanyian pop. Bentuk nyanyian rakyat
juga beraneka ragam, yakni dari yang paling sederhana sampai
yang cukup rumit. Penyebarannya melahirkan tradisi lisan menyebabkan
nyanyian rakyat cenderung bertahan sangat lama dan
memiliki banyak varian-varian. Nyanyian rakyat memiliki fungsi
sebagai pelipur lara, nyanyian jenaka, nyanyian untuk mengiringi
permainan anak-anak, dan nyanyian “Nina Bobo”. Fungsi yang
kedua adalah sebagai pembangkit semangat, seperti nyanyian
kerja ”Holopis Kuntul Baris”, nyanyian untuk baris-berbaris,
perjuangan dan sebagainya. Fungsi ketiga adalah untuk memelihara
sejarah setempat, dan klen. Di Nias ada nyanyian rakyat
yang disebut Hoho, yang dipergunakan untuk memelihara silsilah
klen besar orang Nias yang disebut Mado. Fungsi keempat adalah
sebagai protes sosial, mengenai ketidakadilan dalam masyarakat,
negara bahkan dunia.
Dari berbagai jenis nyanyian rakyat, yang dapat dipertimbangkan
sebagai salah satu sumber dari penulisan sejarah adalah
nyanyian rakyat yang bersifat berkisah, nyanyian rakyat yang
tergolong dalam kelompok ini adalah Balada dan Epos. Perbedaan
antara balada dan epos terletak pada tema ceritanya. Tema cerita
balada mengenai kisah sentimentil dan romantis, sedangkan epos
atau wiracarita mengenai cerita kepahlawanan. Keduanya memiliki
bentuk bahasa yang bersajak. Nyanyian yang bersifat berkisah
ini banyak terdapat di Indonesia. Di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Bali terdapat epos yang berasal dari epos besar
Mahabarata dan Ramayana. Nyanyian rakyat di Jawa Tengah dan
Jawa Timur juga di sebut sebagai ”Gending”. Gending-gending
tersebut masih dibagi ke dalam beberapa jenis seperti Sinom,
Pucung dan Asmaradhana, Balada di Jawa Barat diwakili oleh
Pantun Sunda.
Seorang sarjana Belanda bernama C.M. Pleyte telah mengumpulkan
pantun Sunda mengenai Lutung Kesarung (1910) dan
Nyai Sumur Bandung (1911). Penelitian pantun Sunda berikutnya
dilakukan oleh Ajip Rosidi yang berhasil mengumpulkan 26
pantun Sunda dan 14 di antaranya sudah diterbitkan pada tahun
1973. Di antara Pantun Sunda yang berhasil direkam oleh Ajip
Rosidi tersebut antara lain: ”Tjarita Mundinglaja di Kusuma”,
”Tjerita Nyi Sumur Bandung”, dan ”Tjarita Demung Kalagan”.
Kebanyakan teks pantun-pantun itu panjang.
                                                                                                                   hal  6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar