Selasa, 10 November 2009

LANJUTAN BAB II

hal 4............
4. Legenda
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya
cerita sebagai suatu yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu,
legenda seringkali dipandang sebagai ”sejarah” kolektif (folkstory).
Walaupun demikian, karena tidak tertulis maka kisah tersebut
telah mengalami distorsi sehingga seringkali jauh berbeda dengan
kisah aslinya. Oleh karena itu, jika legenda hendak dipergunakan
sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah maka legenda harus
bersih dari unsur-unsur yang mengandung sifat-sifat folklor.
Jan Harold Brunvand menggolongkan legenda menjadi empat
kelompok, yaitu legenda keagamaan (religious legends) legenda
alam gaib (supernatural legends), legenda perseorangan (personal
legends), dan legenda setempat (local legends).
a. Legenda Keagamaan
Legenda keagamaan adalah legenda orang-orang yang dianggap
suci atau saleh. Karya semacam itu termasuk folklor karena versi
asalnya masih tetap hidup di kalangan masyarakat sebagai tradisi
lisan.
Di Jawa hagiografi menceritakan riwayat hidup para wali
penyebar Islam pada masa yang paling awal. Salah satu contohnya
adalah legenda Wali Sembilan (Wali Songo) mereka adalah Maulana
Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri,
Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria,
dan Sunan Gunung Jati.
Selain sembilan wali tersebut, di Jawa masih banyak wali-wali
lain. Legenda tentang mereka mudah dikenali sebab makammakamnya
diziarahi pada peringatan kematiannya (haul) yang
disebut keramat atau punden. Para juru kunci itu pada umumnya,
dapat menceritakan legenda orang sucinya. D.A. Rinkes dalam
bukunya berjudul De Heiligen van Java (Orang-orang Saleh dari
Jawa) menyebutkan beberapa wali lain di antaranya: Syeh Abdul
Muhyi, Syeh Siti Jenar, Sunan Geseng, Ki Pandan Arang,
dan Pangeran Panggung, Syeck Abdul Qodir Jaelani, dan lainlain.
b. Legenda Alam Gaib
Legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap
benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda
semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran ”takhayul” atau
kepercayaan rakyat. Contoh legenda ini yaitu kepercayan terhadap
adanya hantu, gendruwo, sundel bolong serta nyi blorong.
c. Legenda Perseorangan
Legenda perseorangan merupakan cerita mengenai tokoh-tokoh
tertentu yang dianggap benar-benar terjadi. Di Indonesia legenda
semacam ini banyak sekali. Di Jawa Timur yang paling terkenal

mengambil air dari gentong di
komplek Makam Sunan Gunung
Jati, Cirebon.
Agama dan Upcara
adalah legenda tokoh Panji. Panji adalah seorang putra raja Kerajaan
Kahuripan di Jawa Timur yang senantiasa kehilangan istrinya.
Akibatnya, banyak muncul cerita Panji yang temanya selalu
perihal istrinya yang menjelma menjadi wanita lain. Cerita Panji
yang semula merupakan kesusasteraan lisan (legenda), namun
telah banyak dicatat orang sehingga mempunyai beberapa versi
dalam bentuk tulisan. Beberapa cerita yang tergolong ke dalam
cerita panji misalnya “Ande-Ande Lumut” (dongeng Cinderella
ala Jawa), Kethek Ogleng (seorang pangeran disihir menjadi seekor
kera), ”Cerita Sri Tanjung”, ”Jayaprana dan Layongsari”.
Suatu jenis legenda perseorangan mengenai perampok seperti
Robin Hood, yang merampok penguasa korup atau orang kaya
untuk didermakan kepada rakyat miskin. Legenda semacam ini
di Jakarta pada ”tempo doeloe” adalah kisah petualangan ”Si
Pitung”.
d. Legenda Setempat
Legenda setempat adalah cerita yang berhubungan dengan suatu
tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yaitu bentuk permukaan
suatu tempat, berbukit-bukit, berjurang dan sebagainya.
Legenda setempat yang berhubungan dengan nama suatu tempat
misalnya, legenda Kuningan. Kuningan adalah nama suatu kota
kecil yang terletak di lereng Gunung Ceremai, di sebelah selatan
kota Cirebon, Jawa Barat. Contoh lain mengenai legenda setempat
yang berhubungan erat dengan nama tempat adalah legenda
“Anak-anak Dalem Solo yang Mengembara Mencari Sumber Bau
Harum”. Legenda ini berasal dari Trunyan, Bali. Legenda ini
dapat dimasukkan ke dalam golongan legenda setempat karena
menceritakan asal mula nama beberapa desa di sekitar Danau
Batur, seperti Kedisan, Abang Dukuh, dan Trunyan. Selain itu
contoh-contoh lain legenda setempat ini misalnya ”Asal Mula
Nama Banyuwangi”, serta legenda ”Roro Jongrang”, ”Tangkuban
Perahu”, ”Asal Mula nama Tengger dan Terjadinya Gunung
Batok” serta “asal mula nama kota Bogor”.
5. Upacara-Upacara Adat Istiadat
Sebelum pengaruh India masuk, masyarakat kuno Nusantara
telah mengenal cara-cara upacara. Prosesi upacara ini dilaksanakan
untuk menghormati roh nenek-moyang. Upacara ini dapat
dilaksanakan pada berbagai kesempatan. Ada yang dilaksanakan
pada proses penguburan, untuk keperluan perkawinan, ketika
pengangkatan kepala suku, ketika panen padi, ketika sedekah
laut, atau ketika menjelang peperangan. Upacara ini pun sering
dibarengi dengan pertunjukan wayang, terutama setelah panen
padi. Upacara-upacara yang berkembang di masyarakat biasanya
didasari oleh adanya keyakinan agama, atau pun kepercayaan
Bab 2 Tradisi Sejarah Masyarakat Indonesia Sebelum dan Sesudah Mengenal Aksara. 39
mereka. Upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari
hubungan dengan Tuhan, para dewa, atau makhluk-makhluk halus
yang mendiami alam gaib. Upacara tersebut juga dimaksudkan
untuk mendapatkan kemurahan hati para dewa dan untuk menghindarkan
diri dari kemarahan para dewa yang seringkali diwujudkan
dengan berbagai malapetaka dan bencana alam. Upacara
Larung Samudro, misalnya yang diselenggarakan setiap tanggal 1
Suro dalam kalender Jawa, dimaksudkan untuk menghindarkan
diri dari kemarahan Ratu Pantai Selatan sebagai penguasa Laut
Selatan.
Adakalanya upacara-upacara itu terkait dengan legenda yang
berkembang di kalangan masyarakatnya tentang asal-usul keturunan
mereka sehingga upacara itu juga sebagai alat legitimasi
tentang keberadaan mereka seperti yang tertuang dalam cerita
rakyat itu. Hal ini tampak dalam upacara Kasodo yang diselenggarakan
setiap tahun sekali oleh masyarakat Tengger di sekitar
Gunung Bromo.
Bagi sebuah kerajaan besar seperti Majapahit dan Mataram,
upacara-upacara hari-hari besar kenegaraan dan keagamaan memiliki
arti penting. Upacara tersebut sebagai pertanda kebesaran
kerajaan, sekaligus juga sebagai alat pemersatu dari wilayahwilayah
yang dikuasai serta memperkokoh legitimasi kekuasaan
pusat. Sejak zaman Kerajaan Majapahit sudah terdapat kebiasaan
untuk merayakan hari besar nasional, baik berupa upacara-upacara
keagamaan maupun kenegaraan. Setelah masuknya agama dan
kebudayaan Islam upacara tersebut diwarnai dengan unsur-unsur
islami. Upacara ”Sekaten” misalnya, pada mulanya merupakan
upacara Aswamenda dan Asmaradahana yang dilakukan dengan
meriah pada zaman pemerintahan Batara Prabu Brawijaya V dari
Kerafaan Majapahit akhir. Upacara tersebut kemudian diubah
Gambar 2.10 Para abdi dalam
Keraton Yogyakarta membawa
sesajian ke pantai Parang Tritis
sebagai persembahan mereka
kepada Ratu Pantai Selatan,
Nyi Roro Kidul.
menjadi upacara ”Sekaten” oleh Sunan Kalijaga pada zaman kekuasaan
Kerajaan Demak. Nama sekaten merupakan penyesuaian
makna dari nama ”Jimat Kalimasada” yang berarti (obat mujarab
dari Dewi Kali). Pada zaman Islam Kalimasada mendapat makna
baru, yaitu Kalimat Syahadat. Oleh karena itu, perayaan Sekaten
yang pada zaman Majapahit bermakna sebagai penghibur Sesak
Hati (Sesak-Hatian = Sekaten), pada zaman para wali diubah
menjadi menjadi Syahadatain. Upacara ini kemudian dirayakan
lebih meriah pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma,
raja terbesar Mataram. Bahkan, sampai sekarang upacara
tersebut tetap dilakukan setiap tahun di Kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam.
Sultan Agung mengembangkan rintisan para Wali dengan
membesarkan perayaan Gerebeg yang berarti Hari Besar. Sejak
masa pemerintahan Sultan Agung dikenal adanya tiga macam
Gerebeg, yaitu sebagai berikut.
(a) Gerebeg Pasa, hari raya setelah selesai berpuasa, yakni hari
raya Idul Fitri,
(b) Gerebeg Besar, hari raya Idul Adha, dan
(c) Gerebeg Maulud, perayaan hari raya maulid Nabi Muhammad
Saw. yang sekarang menjadi hari peringatan ”Sekaten”.
(d) Upacara Pajang Jimat di Cirebon.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Sultan Agung telah melakukan
proses adaptasi (penyesuaian) kebudayaan. Tradisi yang
telah berumur lama disesuaikan dengan keadaan zaman yang baru
yang didambakan oleh rakyatnya pada waktu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar