Sabtu, 14 November 2009

Lanjutan BAB II

(5) Hikayat Raja-Raja Pasai
Kitab ini disusun sekitar abad ke−15 M. Isinya mengenai
riwayat raja-raja yang pernah memerintah Samudera Pasai.
Hikayat Raja-raja Pasai. Kitab babad ini dalam pokoknya
meriwayatkan kerajaan Pasai, sejak didirikan oleh Malik
al-Saleh (wafat th. 1297) sampai ditaklukkan oleh Majapahit
zaman Gajah Mada.
Angka tahun tidak ada didapatkan dalam kitab ini, dan
uraian seluruhnya ditenun dalam dongeng-dongeng sehingga
jika tidak ada bahan-bahan sejarah untuk mencocokkan dan
sebagai perbandingan maka tak dapatlah kita membedakan
mana fakta-fakta sejarahnya. Demikianlah misalnya, permulaannya
berupa dongeng tentang seorang anak perempuan yang
dilahirkan dari sebatang bambu dan nantinya kawin dengan
seorang putera bangsawan yang waktu kecilnya diasuh oleh
seekor gajah. Bagian yang mengisahkan raja-raja Pasai pun
lebih berupa cerita roman daripada sejarah. Tentang sebabnya
Pasai diserang Majapahit diceritakan sebagai berikut:
Seorang puteri Maja pahit, Raden Galuh Gumarancang,
jatuh cinta kepada Tun Abd al-Jalil, putera Raja Pasai, dan
datang sendiri di Pasai menjemput kekasihnya. Raja Pasai
tidak menyetujui perkawinan ini, dan menyuruh bunuh
puteranya dan buang ke laut mayatnya. Ketika sang puteri
mengetahui hal ini, ia menenggelamkan diri bersama perahunya
untuk bersatu dengan sang pangeran itu. Raja Majapahit
segera mengirimkan armadanya ke Pasai untuk menyatakan
amarahnya
Sementara karya sastra babad adalah cerita sejarah yang biasanya
lebih bersifat cerita daripada nilai sejarahnya. Karya-karya
babad yang berhasil terkumpul antara lain:
(1) Babad Tanah Jawi
Isi kitab ini menceritakan kerajaan-kerajaan di Jawa, sejak
kerajaan Hindu−Buddha sampai kerajaan-kerajaan Islam.
Babad Tanah Jawi. Kitab ini menguraikan sejarah pulau
Jawa mulai dari Nabi Adam sampai 1647 tahun Jawa (=
1722 Masehi). Adam ini ber-anak Nabi Sis, Sis beranak
Nurcahya, Nurcahya beranak Nurasa beranak Sang Hyang
Wenang beranak Sang Hyang Tunggal beranak Batara Guru.
Batara Guru yang bertakhta di Suralaya beranak 5 orang, di
antaranya: Batara Wisnu. Wisnu inilah raja pertama di Jawa,
bergelar Prabu Set.
Jelaslah bahwa permulaannya sulit kita terima sebagai
sejarah. Begitu pula lanjutannya, yang menguraikan berbagai
raja dan kerajaan seperti Pajajaran dan Majapahit. Mulai dari
zaman Demak ada juga sedikit-sedikit sejarah, makin mendekat
abad ke-18 makin banyak, akan tetapi uraian seluruhnya
banyak yang lebih berupa cerita daripada sejarah.
Dalam hal ini fakta sejarahnya lebih banyak didapatkan
di Sejarah Melayu, artinya lebih nyata dikemukakan. Sebaliknya
Babad Tanah Jawi memuat berbagai angka tahun,
yang memberi kemungkinan untuk dicocokkan dengan
bahan-bahan sejarah lain.
(2) Sejarah Melayu
Kitab ini ditulis oleh patih Kerajaan Johor bernama Bendahara
Tun Muhammad. Isinya menceritakan kebesaran
Iskandar Zulkarnain yang menurunkan raja−raja Melayu.
Sejarah Melayu, juga dinamakan Sulalat us-salatin. Kitab ini
betul-betul dimaksudkan sebagai sejarah. Meskipun banyak
juga terdapatkan dongeng-dongeng di dalamnya, dalam
garis besarnya yang diuraikan adalah peristiwa-peristiwa
yang sungguh terjadi. Penulisnya adalah Bendahara Tun
Muham mad, patih kerajaan Johor, atas perintah dari Raja
’Abdullah, adik dari Sultan Ala’uddin Riayat Syah III. Kitab
ini dimulai dalam tahun 1612 dan selesai dalam tahun 1615,
jadi ditulis waktu kerajaan Johor berulang kali mendapat
serangan dari Aceh.
Sejarah ini dimulai dengan riwayat Iskandar dari Makadunia
(Iskandar dzu’l Karnain). Seorang keturunannya
tiba di Bukit Seguntang dekat Palembang dan menjadi raja.
Kerajaan ini nantinya pindah ke Singapura, dan kemudian
ke Malaka. Mulai dari sini semakin banyaklah fakta-fakta
sejarah yang diceritakan.
(3) Babad Cirebon
Kitab ini memuat tentang daftar sejarah Cirebon.
(4) Bustanul Salatin
Kitab ini ditulis oleh Nuruddin ar-Raniri. Isinya memuat
intisari ajaran Islam, seperti penciptaan langit dan bumi,
riwayat nabi-nabi, dan riwayat para sultan yang pernah memerintah
Aceh (kronik).
(5) Babad Giyanti
Menceritakan pembagian kerajaan Mataram menjadi kerajaan
Yogyakarta dan Surakarta pada tahun 1755. Pada tahun
1757, berdiri kerajaan Mangkunegaran, sebagian dari kerajaan
Surakarta. Babad Giyanti, karangan Yasadipura. Isinya
meriwayatkan pecahnya kerajaan Mataram dalam tahun 1755
dan 1757 menjadi Surakarta di bawah pemerintahan Paku
Buwono III, Yogyakarta dengan Hamengku Buwono I dan
Mangkunegaran yang diperintah oleh Mangkunegoro I. Apa
yang diuraikan dalam kitab ini adalah betul-betul sejarah,
meskipun banyak beberapa penambahan oleh penulisnya.
Karya sastra berupa syair peninggalan sejarah Islam di Indonesia
antara lain:
(1) Syair Abdul Muluk
Syair ini menceritakan bahwa Raja Abdul Muluk mempunyai
dua orang istri, yaitu Siti Rahmah dan Siti Rafiah. Ketika
kerajaan Barbar diserang oleh Kerajaan Hindustan, Siti
Rafiah dapat meloloskan diri. Kemudian berkat bantuan
sahabatnya, ia dapat merebut kerajaannya kembali.
Cari dan teliti hikayat-hikayat yang lain yang berhubungan dengan tradisi tulisan yang berkembang
di daerahmu! Buatlah kesimpulannya!
(2) Gurindam Dua Belas
Karya sastra ini ditulis oleh Ali Haji, yang berisi nasihat bagi
para pemimpin, pegawai, dan rakyat biasa menjadi terhormat
dan disegani oleh sesama manusia.
(3) Suluk Sukarsah
Isinya mengisahkan seseorang yang mencari ilmu untuk
mendapatkan kesempurnaan.
(4) Suluk Wijil
Isinya mengenai wejangan−wejangan Sunan Bonang kepada
Wijil. Wijil adalah seorang yang kerdil bekas abdi raja Majapahit.
(5) Suluk Karya Hamzah Fansuri
(a) Syair Prahu
Manusia yang diibaratkan perahu yang mengarungi
lautan zat Tuhan dengan menghadapi segala macam
marabahaya yang hanya dapat dihadapi oleh tauhid
dan ma’rifat.
(b) Syair Si Burung Pingai
Jiwa manusia disamakan dengan seekor burung, tetapi
bukan burung arti yang sebenarnya, melainkan zat
Tuhan.
(6) Suluk Malang Sumirang
Isinya tentang seseorang yang telah mencapai kesempurnaan
hidup.
Kata Kunci
historiografi, kolonial, tradisional,
belanda sentris
D. PERKEMBANGAN HISTORIOGRAFI DI INDONESIA
1. Historiografi Tradisional
Penulisan sejarah pada mulanya lebih merupakan ekspresi budaya
daripada usaha untuk merekam masa lampau sebagaimana adanya.
Hal ini didorong oleh suatu kenyataan bahwa dalam diri manusia
atau masyarakat selalu akan muncul pertanyaan tentang jati diri
dan asal usulnya yang dapat menerangkan keberadaannya dan
memperkokoh nilai-nilai budaya yang dianutnya. Jadi, penulisan
sejarah bukan bertujuan untuk mendapatkan kebenaran sejarah
dengan pembuktian melalui fakta-fakta, akan tetapi keyakinan
akan kebenaran kisah sejarah itu diperoleh melalui pengakuan
Rama yang disebut dari Kakawin
Ramayana.
serta pengabdiannya terhadap penguasa. Dalam historiografi
tradisional terjalinlah dengan erat unsur-unsur sastra, sebagai
karya imajinatif dan mitologi, sebagai pandangan hidup yang
dikisahkan sebagai uraian peristiwa pada masa lampau, seperti
tercermin dalam babad atau hikayat.
Walaupun demikian, adanya sejarah tradisional memiliki arti
dan fungsinya sendiri. Pertama, dengan corak sejarah tradisional
yang bersifat istana sentris maka ada upaya untuk menunjukkan
kesinambungan yang kronologis dan untuk memberikan legitimasi
yang kuat kepada penguasanya. Ken Arok misalnya, dalam kitab
Pararaton dituliskan sebagai titisan Dewa Wisnu dan putra dari
Dewa Brahma dengan Ken Endok. Raja-raja Mataram membuat
garis keturunannya dari periode manusia pertama dan para nabi,
diikuti dengan periode tokoh-tokoh kepahlawanan dari kitab Mahabharata.
Kemudian pertumbuhan kerajaan Mataram dilukiskan
berasal dari kerajaan kuno seperti Daha, Kediri, Singasari, Majapahit
dan Demak. Adapula upaya untuk menarik garis keturunan
dari tokoh raja legendaris seperti Iskandar Agung kepada rajaraja
legendaris dari Jawa dan Malaka. Kedua, berbagai legenda,
mitos dan folklor yang terkait dengan tokoh-tokoh sejarah lokal,
seperti yang terdapat dalam kitab Babad Tanah Jawi bertujuan
untuk meningkatkan solidaritas dan integrasi di bawah kekuasaan
pusat. Ketika proses penyatuan telah berhasil dilakukan
maka kekuasaan pusat membutuhkan untuk mengukuhkannya.
Antara lain caranya dengan memasukkan berbagai sejarah lokal
menjadi sejarah resmi Mataram. Ketiga, penyusunan sejarah
tradisional juga dimaksudkan untuk membuat simbol identitas
baru. Bagi rakyat di daerah menjadi bagian dari sebuah kerajaan
berarti berbagi identitas dan gengsi baru. Bagi mereka datang ke
ibu kota (nagara) merupakan sesuatu yang luar biasa. Kharisma
seorang raja, seperti yang dituliskan dalam Babad Tanah Jawi, dipercaya
karena adanya pulung. Dengan memiliki kharisma itulah,
Panembahan Senopati berhasil menaklukkan ratu Pantai Selatan,
Nyai Roro Kidul sehingga mampu mengamankan kekuasaannya
di sepanjang pantai selatan Jawa, tempat sang ratu berada sebagai
penguasa dengan berbagai terornya.
2. Historiografi Kolonial
Pembicaraan mengenai perkembangan historiografi Indonesia
tidak dapat mengabaikan buku-buku historiografi yang dihasilkan
oleh sejarawan kolonial. Tidak dapat disangkal bahwa historiografi
kolonial turut memperkuat proses historiografi Indonesia. Historiografi
kolonial dengan sendirinya menonjolkan peranan bangsa
Belanda dan memberi tekanan pada aspek politik dan ekonomi.
Hal ini merupakan perkembangan logis dari situasi kolonial ketika
penulisan sejarah bertujuan utama mewujudkan sejarah dari
golongan yang berkuasa beserta lembaga-lembaganya.
Penulisan sejarah kolonial tentunya tidak lepas dari kepentingan
penguasa kolonial. Kepentingan itu mewarnai interpretasi mereka
terhadap suatu peristiwa sejarah yang tentunya berbeda dengan
penafsiran dari penulis sejarah nasional Indonesia. Perlawanan Diponegoro,
misalnya, dalam pandangan pemerintahan kolonial
dianggap sebagai tindakan ekstrimis yang mengganggu stabilitas
jalannya pemerintahan. Di sisi lain, bagi penulis sejarah nasional
perlawanan tersebut dianggap sebagai perjuangan untuk menegakkan
kebenaran, keadilan, dan cinta tanah air.
Jika dalam sejarah Belanda-sentris menonjolkan peranan
VOC sebagai ”pemersatu” dalam menuliskan sejarah Hindia-Belanda
(Indonesia) maka dalam pandangan Indonesia-sentris hal itu
akan berbeda. Kehadiran bangsa Barat pada umumnya, Belanda
pada khususnya, sengaja atau tidak sengaja mendorong ke arah
integrasi. Perlawanan terhadap penetrasi dan kekuasaan bangsa
Barat membantu pembentukan wilayah kesatuan yang kemudian
disebut Indonesia. Demikian halnya pandangan bangsa Belanda
yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember
1949 melalui penyerahan kedaulatan sebagai kelanjutan dari
Konferensi Meja Bundar maka bangsa Indonesia mengakui bahwa
kemerdekaan Indonesia diperoleh dengan perjuangannya sendiri
kemudian diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
3. Historiografi Modern
Tuntutan akan ketepatan teknik dalam usaha untuk mendapatkan
fakta sejarah secermat mungkin dan mengadakan rekonstruksi
sebaik mungkin serta menerangkannya setepat mungkin, mendorong
tumbuhnya historiografi modern. Di samping mempergunakan
metode yang kritis, historiografi modern juga menerapkan
penghalusan teknik penelitian dan memakai ilmu-ilmu bantu
baru yang bermunculan. Oleh karena itu, secara bertahap berbagai
ilmu bantu dalam pengerjaan sejarah berkembang mulai dari
penguasaan bahasa serta keterampilan membaca tulisan kuno
(epigrafi) sampai dengan numismatik, yang mempelajari mata
uang kuno, dan yang mempelajari permasalahan arsip-arsip.
Dengan demikian, bukan saja ketepatan pengujian bahan sumber
harus selalu diperhalus, metode-metode baru dalam pengumpulan
sumber (heuristik) harus pula dikembangkan. Misalnya, kalau
bahan-bahan tertulis telah habis, sedangkan usaha untuk mendapatkan
rekonstruksi sejarah yang relatif utuh belum tercapai maka
dikembangkan apa yang disebut dengan sejarah lisan. Dengan
sejarah lisan, teknik wawancara terhadap para pelaku atau saksi
sejarah dan sistem klasifikasi dalam penyimpanannya perlu pula
selalu disempurnakan, sedangkan bila untuk dipertimbangkan
sebagai bahan penulisan sejarah maka diperlukan metodologi dan
alat analisis disertai dengan ilmu bantu sejarah yang memadai.
4. Historiografi Nasional
Usaha perintisan penulisan sejarah nasional muncul setelah
Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh
penulisan sejarah yang ada merupakan penulisan sejarah yang
dilakukan pada zaman kolonial dan bersifat Belanda sentris. Selain
itu, sebagai negara yang baru memperoleh kemerdekaannya
membutuhkan suatu penulisan sejarah yang dapat menunjukkan
jati diri sebagai bangsa, serta dapat memberikan legitimasi pada
keberadaan bangsa Indonesia yang baru, setelah bertahun-tahun
berada dalam masa penjajahan. Pada waktu itu bagi rakyat Indonesia
pada umumnya membutuhkan identitas mereka yang baru
setelah zaman penjajahan yang diwarnai dengan adanya deskriminasi
rasial. Penulisan sejarah nasional juga dibutuhkan untuk
pendidikan bagi generasi muda sebagai warga negara.
Seminar Nasional Sejarah Pertama di Yogyakarta pada tahun
1957 merupakan kebangkitan penulisan sejarah nasional Indonesia.
Semi nar tersebut membicarakan pencarian identitas nasional
bangsa Indonesia melalui rekonstruksi penulisan sejarah nasional.
Seminar tersebut membicarakan tentang upaya penulisan sejarah
nasional yang berpandangan Indonesia sentris. Sejarah nasional
juga diharapkan dapat menjadi alat pemersatu dengan memberikan
penjelasan tentang keberadaan bangsa Indonesia melalui
jejak sejarahnya.
Sejarah nasional merujuk kepada sejarah berbagai suku
bangsa dan wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, sejarah nasional
harus dapat memanfaatkan sumber-sumber dari penulisan sejarah
tradisional dan kolonial untuk dilakukan rekonstruksi ulang
menjadi sejarah yang berorientasi pada kepentingan integrasi nasional.
Objek penelitian sejarah nasional meliputi berbagai aspek
dengan menggunakan pendekatan multi dimensional, baik aspek
ekonomi, ideologi, sosial-budaya, maupun sistem kepercayaan.
Kehidupan sebelum sebuah masyarakat mengenali tulisan disebut
kehidupan prasejarah. Setiap bangsa di muka bumi ini pasti
pernah mengalami masa prasejarah. Tiap-tiap bangsa mengalami
masa praaksara berbeda-beda.
Manusia-manusia prasejarah hanya meninggalkan benda dan artefak kebudayaan
mereka, tanpa adanya tulisan. Dengan demikian, para peneliti hanya mampu menafsirkan
tentang kehidupan manusia masa prasejarah. Namun, bukan berarti benda-benda
prasejarah tersebut tidak bermanfaat. Benda-benda tersebut memberitakan bagaimana
manusia-manusia zaman dahulu memperlakukan alam sekitar.
Benda-benda material peninggalan zaman praaksara dapat berupa perkakas tajam
untuk keperluan berburu, gerabah, tembikar, alat-alat perhiasan. Di samping benda material,
peninggalan masa prasejarah pun dapat berupa non-material. Peninggalan budaya
Untuk
                                                                                                                    hal  8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar